Jumat, 11 Januari 2013

Menelaah Organisasi Internasional dan Manfaatnya bagi Kepentingan Nasional

Penulis : Rusman dan Ferdiansyah Ali, Peneliti Global Future Institute (GFI) Didalam setiap pogram pemerintah terkait kerjasama dengan organisasi internasional, sejatinya Indonesia wajib mengedepankan kepentingan nasional sebagai landasan kebijakan luar negeri. Alasan ini menjadi point yang mendasar untuk diperhatikan. Mengingat, kepentingan nasional menjadi alasan utama, agar Indonesia tetap menjadi negara berdaulat di masa mendatang. Ulasan ini terinspirasi dengan keikutsertaan Global Future Institute (GFI) pada acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (BPPK Kemlu RI), yang berlangsung di Jakarta, Senin, 22 Januari 2012 lalu serta dibeberapa kesempatan FGD sebelumnya. Setidaknya, Focus Group Discussion ini, yang mengusung tema “Organisasi Internasional sebagai Instrumen Tata Kelola Global: Kepentingan Nasional dan Manfaat Ekonomi untuk Mendukung MP3EI” menarik untuk dikritisi. Mengingat, masih sedikit dari masyarakat yang belum mengetahui berapa banyak keikutsertaan Indonesia di organisasi internasional yang ada. Dan seberapa besar manfaatnya bagi Indonesia ikut serta dalam organisasi internasional ini. Berdasarkan data Sekretaris Direktorat Jenderal Multilateral Kemlu RI, hingga saat ini ada sekitar 192 organisasi internasional yang diikuti Indonesia. Dan tidak sedikit cost yang dikeluarkan, terkait dengan kontribusi (iuran) dalam mengikuti organisasi internasional ini. Perlu diketahui, pada tahun 2012, Indonesia telah mengeluarkan dana iuran sebesar Rp. 263 milyar lebih. Dan ditahun 2013, diprediksi akan membengkak menjadi 292 milyar lebih atau tepatnya 292. 172.054.133, 48 rupiah. Sebuah angka yang cukup besar bukan? Belum lagi cost yang harus dikeluarkan ketika Indonesia mengikuti perhelatan, disalah satu organisasi internasional yang diikuti. Dan biasanya, delegasi yang ikut serta, baik dari segi jumlah dan kualitas, kadang tidak dipersiapkan dengan “serius”. Sehingga kerapkali para delegasi yang ikut serta dan sekembalinya ke tanah air tidak membawa “hasil” bagi Indonesia. Jadi jelas, tidak ada alasan bagi pemerintah harus mempertimbangkan untung dan ruginya ikut serta dibeberapa organisasi internasional. Setidaknya Keppres No. 64/1999 tentang Keanggotaan Indonesia dan Kontribusi Pemerintah RI pada Organisasi-Organisasi Internasional mengamanat ini. Keputusan Presiden tersebut mengamatkan bahwa keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional harus memberi manfaat yang maksimal bagi kepentingan nasional, didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku dan memperhatikan efesiensi penggunaan anggaran dan kemampuan keuangan negara. Sebagai informasi rencananya keppres ini akan direvisi. Bila ini benar terjadi, tentunya perlu dicermati lebih lanjut. Terkait perlunya mempertimbangkan kembali keikutsertaan Indonesia dalam organisasi internasional yang ada, pembicara dari Lembaga Administrasi Negara (LAN) memberikan usulan yang cukup “cerdas”. Dalam rekomendasinya, LAN mengungkapkan dua point utama. Pertama, keanggotaan Indonesia dalam organisasi internasional dapat ditinjau kembali oleh Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Sekretariat Negara berserta instansi terkait. Kedua, Perlu dilakukan peninjauan kembali keanggotaan Indonesia dalam kegiatan organisasi-organisasi internasional. Sisi lain yang menarik untuk dikritisi adalah, bahwa Indonesia tidak memiliki kebijakan luar negeri yang jelas. Padahal antara kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri, ibarat sebuah ikatan yang saling terkait, dan mutlak diperlukan dalam sebuah diplomasi internasional. Kebijakan luar negeri Indonesia harus merujuk kepada kepentingan nasional. Tidak bisa tidak. Selayaknya apa yang disampaikan tim GFI pada forum diskusi ini menjadi penting untuk diperhatikan. Coba bandingkan dengan Amerika Serikat. Negeri paman sam ini jelas memiliki kebijakan luar negeri yang boleh terbilang "permanen". Dimanapun dan sampai kapanpun Amerika Serikat karena ketergantungannya terhadap minyak maka kebijakan luar negerinya senantiasa kepada MINYAK. Siapapun presidennya, Amerika pasti akan selalu mengedepankan minyak sebagai target utama dalam kepentingan nasionalnya. Idiom yang sukar untuk dipungkiri. Sementara, apa kepentingan nasional Indonesia sendiri? Walau tidak terbahas tuntas, setidaknya para pembicara mengamini apa yang disampaikan tim GFI. Namun sayangnya, tidak begitu terbahas dengan tuntas dalam forum diskusi terbatas ini. Sejatinya, bahasan terkait kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional Indonesia layak untuk dibahas secara mendalam disetiap forum yang lebih serius. Sehingga, apa yang dikeluh kesahkan oleh salah satu pembicara terkait diplomat-diplomat yang hanya debat kusir di setiap forum internasional tidak terjadi lagi. Seakan-akan Indonesia selalu berada di simpangan jalan, padahal sudah sepantasnya keiikutsertaan Indonesia didalam sebuah organisasi internasional harus dijadikan sarana negosiasi hingga menciptakan bargaining position Indonesia di dunia internasional. Sebagai sebuah rujukan dan renungan bersama, dimana Indonesia sebagai anggota Asian Pacific Economic Cooperation (APEC) ternyata tidak mampu memainkan perannya secara optimal ketika Kelapa Sawit dipandang sebagai produk yang tidak ramah lingkungan. Padahal Indonesia merupakan penghasil CPO terbesar di dunia. Dengan keberadaan Indonesia sebagai anggota forum Kerjasama ekonomi Negara Asia Pasifik, justeru menjadikan ‘alat legitimasi’ bahwa Indonesia menyetujui kesepakatan APEC yang memutuskan kalau kelapa sawit merupakan benar produk yang tidak ramah lingkungan. Padahal dengan kondisi seperti ini akan mempengaruhi kinerja ekspor CPO Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Program MP3E1 Ibarat “Kue” yang Banyak Diperebutkan Terkait dengan tema Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)- yang notabene jadi program andalan pemerintahan SBY saat ini juga menjadi perhatian khusus. Namun, bahasan terkait "Mega Proyek" ini sedikit luput dari bahasan utama di forum ini. Berdasarkan hasil riset GFI, berbagai proyek investasi infrastruktur yang ditawarkan dalam MP3EI periode 2011-2025 ibarat “kue” yang banyak diperebutkan oleh negara-negara lain. Sebut saja, Jepang, Cina, Amerika, Rusia dan lainnya. Misalnya, dalam pertemuan keempat Indonesia – Japan Joint Economic Forum (IJJEF) yang diselenggarakan di Tokyo, 8-9 Oktober 2012 lalu. Di forum ini, Jepang kembali menyampaikan komitmen dan dukungannya dalam upaya pengembangan ekonomi Indonesia terutama untuk pengembangan infrastruktur dan konektivitas. Lain lagi dengan investor dari RRT. Dalam Forum Promosi Trade, Tourism and Investment (TTI) yang diselenggarakan di Kota Chengdu (24/7/2012), para investor RRT menyatakan minatnya pada proyek-proyek seperti pengembangan jalan tol, rel kereta api, jembatan dan pembangkit tenaga listrik. Ini baru sebagian kecil dari minat negara-negara lain terhadap program MP3EI. Pasalnya, bicara MP3EI berarti bicara infrastruktur, manufaktur, pertambangan dan energi, pariwisata, perikanan, agribisnis dan kawasan ekonomi khusus. Dan perlu diketahui, bahwa total nilai proyek yang ada dalam program MP3EI hingga tahun 2025 sekitar US$ 600 milyar. Sebuah proyek yang luar biasa besar bukan? Tentu ini harus menjadi perhatian stakeholders kebijakan luar negeri lintas kementerian yang ada, baik kementerian luar negeri, kementerian ekonomi, kementerian perdagangan, kementerian industri, kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif, maupun kementerian kelautan. Pertanyaannya, sudahkah terjalin komunikasi yang baik antar kementerian tersebut? Sebuah pertanyaan yang harus menjadi bahan evaluasi di setiap jajaran kementerian. Indikasi lainnya adalah bahwa perwakilan RI tidak hanya sekedar mampu melakukan economic intelligence untuk menggali potensi peluang pasar dan melakukan promosi secara lebih efektif guna memfasilitasi pelaku usaha, tetapi juga harus mampu membaca apa yang tersirat dan tersurat dari minat para investor di luar negeri. Selayaknya Indonesia mengikuti apa yang dilakukan Republik Islam Iran. Pada penyelenggaraan KTT Gerakan Non Blok (GNB) di Iran beberapa waktu lalu, Iran memainkan perannya secara optimal sebagai anggota GNB. Di tengah isolasi yang diberlakukan dunia barat, Iran mampu menghadirkan 120 kepala negara anggota GNB pada perhelatan akbar tersebut. Dengan kehadiran para kepala negara tersebut, secara otomatis Iran mampu menggugurkan ajakan negara-negara barat untuk mengisolasinya. Iran membuktikan bahwa Iran bukanlah negara yang terisolir. Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Berbicara tentang peran Indonesia, artikel Dina Y Sulaeman, berjudul “Menggugat Feodalisme PBB” (baca selengkapnya di jurnal edisi ini) terkait pernyataan Presiden Islam Iran Ahamdinejad, kiranya menarik untuk disimak dan jadi inspirasi bagi pemerintah Indonesia. Dalam paparanya, Dina menyebutkan bahwa jalan keluar yang disampaikan secara terang-terangan oleh Ahmadinejad mengatakan bahwa selama delapan tahun terakhir ini adalah yang paling logis, yaitu penghapusan hak veto secara penuh bagi negara-negara adidkuasa seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia dan Cina. Dalam pidatonya, Ahmadinejad memperingatkan bahwa selama hak veto masih ada justru kelangsungan hidup PBB sendiri yang akan terancam. Ketika PBB semakin melemah, masyarakat dunia akan mengambil aksi sendiri di luar struktur PBB. Hal ini mengisyaratkan, PBB sebagai sebuah institusi dunia bisa jadi akan tergoyahkan oleh kepentingan negara-negara barat, yang memaksakan kehendaknya sendiri. Lantas, apa gunanya organiasasi internasional seperti PBB ini hanya akan menjadi organisasi tempat kongkow-kongkow para diplomat. Terkait gagasan tersebut, sudah seharusnya pemerintah Indonesia terdorong untuk melakukan peran aktif yang sejalan dengan sikap Pemerintah Iran dalam kerangka mengupayakan Reformasi PBB. Peran aktif Indonesia seperti ini kiraya jauh lebih substansif dan strategis daripada sekadar faktor pelengkap dan alat justifikasi bagi keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh forum-forum multi-lateral seperti APEC. Lebih daripada itu, bukankah ditiadakannya hak veto bagi negara-negara adikuasa pada perkembangannya akan menguntungkan Indonesia dalam memperjuangkan aspirasinya d forum internasional bersama-sama dengan negara-negara berkembang lainnya? Sudah saatnya Indonesia harus kembali kepada semangat dan komitmen Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada April 1955 dan Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok di Beograd pada 1961. Sekadar mengingatkan, Indonesia pada kedua forum internasional tersebut, tidak saja berperan aktif, melainkan juga menjadi salah satu negara pemrakarsa. Begitupun, forum diskusi semacam ini lagi-lagi terpaksa harus terbatasi oleh waktu yang relatif singkat. Sehingga tidak sedikit tanggapan dari peserta diskusi yang bisa terjawab dengan memuaskan. Setidaknya, Yulius Purwadi Hermawan, Ph.D., wakil dekan I Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Bandung usai diskusi menyampaikan pendapatnya. "Lembaga think thank seperti GFI sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang pemerintah dalam menentukan kebijakan luar negeri. Apa yang anda sampaikan ada benarnya. Dan memang tidak terlalu direspon. Mungkin karena kesibukan mereka," ujar Yulius kepada Tim GFI. Berikut lampiran keanggotaan Indonesia dalam organisasi internasional bidang ekonomi: - Codex Alimentarius Commisision (CAC) - Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) -- Indonesia mundur dalam Konferensi OPEC ke-149, yang berlangsung tanggal 9-10 September 2008, di Wina, Austria. - Organization of Petroleum Exporting Countries Fund (OPEC FUND) - International Nickel Studi Group (INSG) - United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) - World Trade Organization (WTO) - Asia Pasific Fishery Commision (APFIC) - Southeast Asia Fisheries Deveploment Centre ( SEAFDEC) - Food and Agricultural Organization (FAO) - International Fund for Agricultural Development (IFAD) - World Food Pragramme (WFP) - Asian and Pasific Coconut Community (APCC) - Animal Production of Health Commission for Asia (APHCA) - International Rubber Study Ground (IRSG) - Center for International Forestry Research (CIFOR) - Internasional Coffee Organization (ICO) - Internasional Pepper Community (IPC) - Internasional Tropical Timber Organization (ITTO) - Asian Development Bank (ADB) - Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) - International Finance Corporation (IFC) - International Monetary Fund (IMF) - Islamic Development Bank (IDB) - Word Bank Sumber: www.theglobal-review.com

Rabu, 26 September 2012

Skema Trans Pacific Partnership (TPP) Amerika Serikat Hancurkan Produk Industri Kelapa Sawit Indonesia

Penulis : Ferdiansyah Ali, Staf Peneliti Global Future Institute
"Meski negara-negara Uni Eropa dan Amerika menekan perdagangan minyak sawit (crude palm oil) Indonesia dengan berbagai cara, tapi fakta tak bisa dielakkan. Kelapa sawit, dalam setiap hektare (ha) pertahunnya mampu menghasilkan biodiesel enam ribu liter, sedangkan kedelai hanya 440 liter. Sudah seharusnya hasil penelitian tersebut dapat dijadikan bahan negosiasi pemerintah Indonesia dengan Amerika maupun Uni Eropa terkait aturan ketat mereka mengenai peredaran minyak sawit Indonesia." Kebanggaan, sebuah kata yang sudah sangat dirindukan oleh rakyat di negeri ini. Dari masa ke masa makna kebanggaan itu kian luntur di negeri kaya akan sumber daya alam. Kebanggaan… “Ah sudah lupakan saja!” Apa lagi yang bisa dibanggakan dari Indonesia? Pertamina, perusahaan migas yang dulu katanya menjadi tempat belajar Petronas Malaysia, kini terjerembab tak menentu jauh tertinggal. Pendidikan, lagi-lagi katanya dulu pemerintah Malaysia melakukan studi banding di Indonesia, kini peringkat Human Development Index (HDI) negeri ini berada di urutan terbawah diantara Negara Asean. Kalah sama Filipina dan jauh dibelakang dibandingkan dengan Malaysia. Indonesia menempati urutan ke 124. Sedangkan Filipina ke 112, Thailand ke 103, Malaysia berada di urutan ke 61, dan Singapura dengan urutan ke 26. Di sektor olah raga, untuk tingkat olimpiade tidak pernah masuk 20 besar dunia. Sepak bola Indonesia berada di peringkat 143 dunia dengan konflik PSSI tidak yang tidak berujung. Bulutangkis, sebagai negara yang banyak melahirkan maestro bulutangkis, kini mencapai semifinal Piala Thomas dan Uber tak mampu. Dibidang kekuatan militer jangankan di dunia, di Asia Tenggara saja kalah dengan Malaysia dan Singapura. Di bidang otomotif nyaris semua kendaraan impor. Namun di balik semua ‘keputus-asaan’ pada kondisi diatas, sebenarnya ada potensi yang mampu mengangkat harkat dan martabat negeri ini untuk kedaulatan dan kesejahteraan rakyatnya. Bangsa ini ternyata adalah produsen terbesar kelapa sawit di dunia.  Kelapa sawit merupakan anugerah bagi Indonesia dan daerah-daerah tropis. Pasalnya, jenis tanaman ini hanya bisa tumbuh subur di kawasan tropis dan produksinya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat terkhusus potensi luar biasa bagi Indonesia. Industri kelapa sawit menjadi salah satu industri yang banyak menyerap tenaga kerja lebih kurang 10 juta orang baik yang bekerja dari Industri hilir dan Industri hulu perkebunan kelapa sawit yang secara langsung maupun tidak langsung. Secara Makro ekonomi kelapa sawit berkontribusi terhadap Indonesia sebesar $ 16,5 milyar atau sekitar 160 triliun per tahun.  Sektor industri kelapa sawit selama ini sangat strategis bagi kepentingan ekonomi nasional. Selama ini sawit menjadi tulang punggung ekonomi nasional dan hajat hidup petani sawit rakyat. Sudah sepantasnya pemerintah Indonesia harusnya menjadi frontliner dan menjadi panglima perang di perdagangan CPO (crude palm oil) atau minyak mentah sawit global. Hingga pada akhirnya menjadi kebanggaan di negeri ini. Geliat Dominasi Kelapa Sawit Indonesia  Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Rabobank, Pawan Kumar, Rabobank Associate Director of Food and Agribusiness Research and Advisory (FAR) mengungkapkan bahwa Indonesia masih menjadi penyumbang produksi minyak sawit dunia terbesar. Indonesia menyumbang sebanyak 48 % dari total volume produksi minyak sawit di dunia. Diikuti Malaysia sebesar 37% dari total volume produksi minyak sawit dunia. Dari laporan 10 tahunan Compounded Annual Growth Rate (CAGR), Indonesia tercatat sebagai produsen minyak sawit yang mengalami pertumbuhan produksi terbesar, yaitu sebesar 11%. Hingga tahun 2020 diprediksi Indonesia terus mendominasi minyak kelapa sawit. Permintaan konsumsi minyak kelapa sawit dunia akan meningkat mencapai 180 juta ton pada 2020, dengan 68 juta ton atau 38% di antaranya adalah minyak sawit, terutama dari Cina dan India. Indonesia pada tahun itu bakal memasok sekitar 55 persen dari kebutuhan minyak sawit dunia. Hal tersebut tidak terlepas dari beberapa hal yang mendukung Indonesia untuk tetap mempertahankan hegemoni sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Iklim, tenaga kerja, dan kesediaan lahan yang masih cukup banyak sekitar 16 juta - 17 juta hektar, sebagai faktor utama dalam mendukung Indonesia guna meraih predikat tersebut. Indonesia menjadi pemasok terbesar kelapa sawit di dunia dengan negara tujuan utama Cina, Belanda, India, Amerika, Italia, Jerman dan lainnya.  Hal ini akan terus meningkat seiring dengan konsumsi minyak kelapa sawit yang meningkat setiap tahunnya. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan produksi minyak kelapa sawit Indonesia meningkat dengan rata-rata pertumbuhan dari tahun 2010-2012 mencapai 8,07%. Minyak sawit, sebagian besar diperdagangkan dan dikonsumsi untuk kebutuhan minyak nabati dunia, dan digunakan terutama sebagai bahan makanan seperti biskuit dan es krim, atau sebagai biofuel. Upaya Perusakan Citra Kelapa Sawit Indonesia kini menjelma menjadi penghasil CPO terbesar di dunia dan sulit ditandingi negara lain sehingga muncul intrik-intrik persaingan ekonomi melalui saluran politik yang berupaya merusak citra Indonesia. Tujuannya agar pertumbuhan dan perkembangan bisnis kelapa sawit di Indonesia tidak lagi berkembang. Karenanya potensi Indonesia yang mampu mengembangkan areal perkebunan kelapa sawit sehingga semakin mengukuhkan posisi Indonesia sebagai penghasil CPO pasti bakal digoyang pihak-pihak yang tidak ingin Indonesia memegang peranan ini. Ketakutan terhadap Indonesia bakal memegang peran besar terhadap dunia lewat sektor penghasil CPO terbesar sangat mengkhawatirkan negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, yang  kepentingannya bakal terganggu. Perusakan citra terhadap kelapa sawit yang terus berkembang lebih disebabkan faktor kecemburuan pihak lain terhadap eksistensi Indonesia memandu bisnis CPO terbesar di dunia. Isu yang digelindingkan pemerintah Amerika Serikat bahwa tanaman kelapa sawit telah merusak lingkungan agaknya hanya rekayasa politik yang ingin meruntuhkan dominasi Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar di dunia . Agenda konspirasi global dalam perusakan citra terhadap kelapa sawit semakin terlihat dalam Konferensi Tingkat Tinggi Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (KTT APEC), 8-9 September 2012 lalu di Vladiostok, Rusia. Dan ironisnya, diperlihatkan lemahnya kapabilitas negosiator Pemerintah Indonesia yang gagal memasukkan  minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai produk ramah lingkungan (environmental goods), berarti skema Trans Pacific Partnership Amerika Serikat (AS) berhasil melobi negara-negara satelit AS yang tergabung dalam TPP seperti Malaysia, Singapore, Jepang, Filipina dan Brunei Darussalam, sehingga citra Kelapa Sawit dipandang sebagai produk yang tidak ramah lingkungan. Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah negara (AS, Australia, dan Kanada) menyebut industri CPO Indonesia merupakan industri tidak ramah lingkungan. Tentu saja kondisi ini bakal mempengaruhi kinerja ekspor CPO Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Bisa dimengerti jika Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyesalkan kegagalan pemerintah Indonesia dalam melobi para pemimpin Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) untuk memasukkan kelapa sawit sebagai produk ramah lingkungan.   Kegagalan upaya negosiasi ini tak terlepas dari tudingan Badan Perlindungan Lingkungan (Environtment Protection Agency /EPA) Amerika Serikat yang menetapkan emisi gas rumah kaca dari bahan baku sawit minimal 20 persen. Sementara menurut EPA, emisi gas rumah kaca minyak sawit Indonesia yang masuk ke pasar AS hanya sebesar 17 persen untuk biodiesel dan 11 persen untuk bahan bakar lestari sehingga pemerintah AS menolak produk kelapa sawit dan turunannya asal Indonesia. Padahal berdasarkan hasil perhitungan emisi yang dilakukan oleh IPB terhadap emisi gas rumah kaca minyak sawit sebesar 50 ton CO2/Ha/Tahun setara dengan reduksi 28 persen emisi. Angka ini lebih tinggi dari yang di persyaratkan EPA sebesar 20 persen emisi. Dengan demikian Kelapa sawit menjadi bahan yang aman untuk digunakan sebagai bahan biodiesel di bandingkan dengan bahan penghasil minyak nabati lainnya dan telah memenuhi Renewable Fuel Standart. Lain lagi dengan Australia. Melalui RUU Food Standards Amendment yang saat ini tengah dibahas secara intensif di parlemen Australia memberi kesan buruk terhadap minyak sawit. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Deddy Saleh, RUU ini bersifat diskriminatif karena menuding dampak kandungan minyak sawit terhadap kesehatan manusia. Dikatakan, lemak yang terkandung dalam minyak sawit lebih besar daripada minyak yang berasal dari tumbuhan/sayuran lainnya. Sementara pada 2010, Uni Eropa mengumumkan hanya mengakui dan menerima impor biodiesel yang bisa menghemat 35 persen GRK (Gas Rumah Kaca). Faktanya, hasil penelitian Van Zuthpen yang dirilis oleh Dewan Minyak Sawit Indonesia angka yang dihasilkan Indonesia bahkan sudah melampaui target Uni Eropa 2025 sebesar 50 persen. Penggunaan biodiesel sawit mampu mengurangi GRK hingga 62 persen dibandingkan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi. Penggunaan bahan bakar fosil, seperti pada kendaraan, pabrik, peralatan rumah tangga mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) 4.228 ton. Sedangkan biodiesel sawit hanya memproduksi 2.627 ton.  Jumlah karbon yang diikat dari udara oleh perkebunan sawit per hektare pertahunnya, ternyata tak jauh berbeda dengan jumlah hutan hujan tropis, yaitu 161 ton. Sedangkan hutan tropis 163,5 ton per hektare pertahun. Meskipun dari total biomassa, hutan tropis tentu lebih besar empat kali lipat dari sawit, yaitu 431 ton, sedangkan sawit (100 ton).  Meski negara-negara Uni Eropa dan Amerika menekan perdagangan minyak sawit (crude palm oil) Indonesia dengan berbagai cara, tapi fakta tak bisa dielakkan. Kelapa sawit, dalam setiap hektare (ha) pertahunnya mampu menghasilkan biodiesel enam ribu liter, sedangkan kedelai hanya 440 liter. Sudah seharusnya hasil penelitian tersebut dapat dijadikan bahan negosiasi pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa terkait aturan ketat mereka mengenai peredaran minyak sawit Indonesia. Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia, produksinya mampu melebihi minyak nabati negara-negara Uni Eropa dan Amerika dengan berbagai macam minyaknya. Minyak kelapa sawit telah menjadi komoditi yang lebih banyak dikonsumsi mengalahkan minyak nabati lainnya. Kelapa sawit menguasai produksi minyak nabati dunia sebanyak 30 %, minyak  kedelai (29%), Minyak Biji Rape (24%), Bunga matahari (8%) dan minyak lainnya (19%). Bahkan ke depan industri kelapa sawit akan berkembang sesuai dengan pertumbuhan penduduk dunia dimana konsumsi minyak nabati perkapita perorang di dunia di perkirakan rata-rata 25 kg/thn. Kondisi seperti ini membuat negara-negara besar, terutama Amerika, kerap pemerintahnya mengambil keputusan sepihak yang merugikan hubungan dagang dengan Indonesia. Amerika, sebagai negara penghasil kedelai utama yang memasok 35 % produksi di dunia, mempunyai kepentingan untuk melindungi petaninya. Mereka tidak menginginkan pada akhirnya kelapa sawit mampu menggantikan kedelai sebagai bahan baku minyak nabati, karena secara umum kelapa sawit lebih baik daripada kedelai yang dikuasai oleh negara-negara maju itu. Dengan minimnya karbon, biodesel sawit terbukti terlihat lebih seksi dalam perdagangan internasional. Jadi sebenarnya, berdasarkan hasil diskusi Tim Riset Global Future Institute, yang menjadi ‘akar permasalahan’ boikot kelapa sawit oleh Amerika berkaitan dengan eksistensi industri minyak nabati di Amerika, sehingga terjadi penolakan hasil industri kelapa sawit dari Indonesia. Bisa dibayangkan hasil minyak nabati di luar minyak kelapa sawit hanya 0,3 -0,7 ton/ha/tahun sedangkan minyak sawit mampu mencapai 7 ton/ha/tahun sehingga jika 12 juta kebun kelapa sawit didunia untuk minyak nabati di luar kelapa sawit harus menyiapkan lahan seluas kira-kira 75 juta ha untuk menyamai produktifitas minyak kelapa sawit.  Jika industri di Amerika tidak diproteksi maka akan mematikan industri nabati negaranya dan ditambah lagi menurunnya daya beli masyarakat Amerika dan Eropa  akibat krisis ekonomi yang berlangsung. Terlalu dini jika mengatakan perihal penolakan hasil dari industri kelapa sawit Indonesia berkaitan dengan isu lingkungan, hanya saja isu utamanya “terbungkus secara rapi”. Sebagaimana biasa, skema yang seringkali dituduhkan Amerika berdasarkan paket DHL (Demokrasi, HAM, dan Lingkungan). Kecemburuan negara-negara besar yang tidak bisa mengembangkan kelapa sawit menjadi faktor utama menggelindingkan isu-isu terkait kelapa sawit merusak lingkungan hidup. Upaya-upaya penolakan minyak sawit Indonesia ini bagian dari konspirasi global yang akan memperlemah Indonesia.  Menaikkan Posisi Tawar Indonesia termasuk negara yang mengancam produk dan petani kelapa sawit di beberapa negara besar seperti Uni Eropa dan Amerika. Oleh karena itu untuk mengeliminir negara-negara maju mengangkat sejumlah alasan yang berkaitan lingkungan untuk dijadikan kedok negara tersebut dalam menolak kelapa sawit dari Indonesia, pada masa akan datang, pemerintah harus mampu mengupayakan CPO secara optimal menjadi bahan baku energi terbarukan yang ramah lingkungan. Pemerintah sudah harus mencanangkan program hilirisasi produk dengan tujuan meningkatkan nilai tambah produk nasional dan menyerap tenaga kerja. Pemerintah harus segera mengurangi era ekspor produk primer. Indonesia tidak boleh lagi hanya mengandalkan eksportir produk primer karena nilai tambah sangat rendah. Kurang berkembangnya industri hilir kelapa sawit di Indonesia menyebabkan tekanan dari luar semakin banyak untuk menggusur industri kelapa sawit Indonesia. Selama industri hilirnya tidak maju, kelapa sawit Indonesia terus mendapat ancaman global. Jika industri hilirnya maju maka tidak perlu banyak-banyak mengekspor kelapa sawit mentah, tapi dalam bentuk produk hasil olahannya. Hal ini akan mengeliminir tekanan dari luar tersebut. Menurut Guru Besar Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Endang Gumbira Said, saat ini baru sekitar 30 persen industri hilir yang berkembang, sisanya 70 persen masih di hulu atau bahan baku.  Kemudian yang juga harus mendapatkan perhatian adalah perlu lebih intensif kegiatan riset yang mengkaji tentang kelapa sawit. Dengan kegiatan riset yang belum komprehensif dan dipublikasikan secara internasional, Indonesia tidak mempunyai mekanisme tawar sehingga selalu diserang oleh negara besar dan tidak bisa melawan. Terlalu banyak kepentingan, apalagi banyak investor asing yang bermain di industri kelapa sawit. Disadari sepenuhnya bahwa industri kelapa sawit masih banyak kekurangan dan kelemahan namun bukan berarti industri ini harus stagnan akibat isi-isu global dan pelarangan impor. Ssecara perlahan industri kelapa sawit akan menyesuaikan dan merevitalisasi kembali sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia dan dunia, industri ini mempunyai prospek yang cerah apalagi jika ‘biodiesel minyak sawit’ dapat berkembang  secara massal, tidak terbayang bagaimana besarnya nilai tawar dan peranan Indonesia di dunia.  Semoga makna kebanggaan yang lama dirindukan buat negeri ini, hadir melalui industri kelapa sawit... Catatan: Artikel ini juga dimuat di www.theglobal-review.com

Jumat, 18 Mei 2012

INTISARI DISKUSI INTERNAL IKAFENAS: Globalisasi Adalah Rekayasa Pihak Asing

Oleh Allay F. Ali (Wakil Sekjen IKAFENAS)
Bicara globalisasi, kalau kita pikir-pikir dari segala sisi dan dari segala pandangan, kita memang tidak siap. Machine, atau infrastruktur, kita masih jauh tertinggal. Man Power, boro-boro kita bisa mengalahkan tenaga-tenaga ahli dari luar. Kita bisa lihat semua perusahaan asing yang ada di Indonesia, tenaga-tenaga kita hanya mendapat ‘jatah’ di kelas bawah. Dan terakhir money atau kapital, semua itu kebanyakan didatangkan dari luar. Dari skema besar yang saya tangkap, dimana sebenarnya globalisasi ini adalah rekayasa dari pihak-pihak barat, lebih khususnya dari negara-negara maju. Dimana rekayasa ini dibuat sehingga mereka bisa memasukan kepentingan-kepentingannya pada negara yang bersangkutan. Ketika diangkat isu globalisasi tiba-tiba muncul perusahaan asing. Ketika digedor-gedor globalisasi tiba-tiba pasar kita dikuasai. Sementara tenaga-tenaga ahli yang diserap dari kita sangat sedikit. Untuk itu sudah seharusnya kita lupakan saja globalisasi itu, karena hal ini hanyalah merupakan rekayasa tangan asing. Jangan sampai kita terbawa oleh skema besar ini. Yang perlu kita perhatikan adalah pertama kita kuatkan perekonomian lokal kita. Kita perkuat basic perekonomian negara Indonesia. Mereka boleh masuk ke Indonesia tetapi mereka harus patuh dengan aturan yang kita buat. Mereka mau membuka pasar di Indonesia tetapi mereka harus mengikuti hukum-hukum yang kita buat. Langkah pertama yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah adanya ketegasan hokum yang dijalankan oleh pemerintah, sebelum kita berangkat dalam menyikapi kepemimpinan nasional. Hokum itu harus berpihak pada keadilan. Sebelum kita mengarah kepada nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, terlebih dahulu harus menjalankan ketegasan hukum dalam penerapan kontrak karya yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan asing tersebut. Harus dilakukan perubahan pada kontrak karya yang berlaku saat ini sampai benar-benar terlaksana keadilan. Pemerintah sudah saatnya melakukan perubahan dari negara yang mampu mengekspor bahan baku mentah menjadi negara yang mengekspor produki-produk bahan jadi yang memiliki nilai jual lebih sehingga mampu bersaing secara kompetitif dalam dunia global.

Jumat, 02 Maret 2012

Kalimat Sakti Yang Bernama ’Subsidi’



Untuk mengurangi kaget rakyat miskin, akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pemerintah memberikan BLT. Sungguh, pemerintah mempolitisasi rakyat miskin demi pencitraan, rakyat miskin disuap BLT. Kenaikan harga minyak dunia yang menyentuh 120 dolar AS perbarel akibat ketegangan AS-Iran juga jadi alasan harga BBM bersubsidi naik.

Padahal keuntungan yang dikantongi pemerintah setelah premium naik bisa mencapai angka fantastis Rp 43,7 triliun (harga premium Rp 6 ribu perliter). Lalu, setelah harga premium naik pemerintah pun bersiasat memberikan Bantuan Sementara Langsung Masyarakat (istilah lain dari BLT) tiap orang Rp 150 ribu selama sembilan bulan.

Menko Kesra Agung Laksono menyebut, 74 juta jiwa rakyat miskin akan menerima kompensasi BSLM. Jumlah penerimanya, 18,5 juta RTS (Rumah Tangga Sasaran) dikali empat, jadi 74 juta jiwa. Meski menurut data sekarang, 30 juta adalah penduduk yang hampir miskin, lalu 30 juta penduduk yang miskin dan very very poor (super miskin). Total 60 juta. Jadi, ditambah 14 juta yang tidak terdaftar selama ini termasuk nelayan dan buruh.

Bagi sangat sedikit orang di Indonesia, kenaikan premium tidak masalah. Tapi tidak dengan sebagian terbesar rakyat, menyusul imbas kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok hidup yang membelenggu. Sudah pasti rakyat miskin tidak bisa berkata-kata apalagi protes karena dengan leher yang sudah tercekik, tergorokannya pun mengering.

Keputusan kenaikan BBM bersubsidi dan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) adalah kepentingan politik dan harus dibicarakan pemerintah dengan DPR. Tapi sungguh disayangkan, banyak partai di negeri ini yang setuju untuk menaikan.

Hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang secara tegas menolaknya. Persoalannya, jutaan penduduk miskin akan tenggelam dan mati. Kalau rakyat miskin mati akan berkurang angka kemiskinan di Indonesia dan bertambahlah kemakmuran. Itu merupakan cara membuat rakyat miskin semakin dalam kondisi ’sekarat’, bahkan bisa jadi dikategorikan genocida dengan cara halus dan perlahan-lahan.

Kenaikan harga BBM menjadi pilihan pemerintah untuk menekan subsidi, adalah hal yang aneh. Karena sebenarnya, kewajiban pemerintahlah untuk memenuhi kebutuhan BBM untuk rakyat, seperti seorang ayah yang berkewajiban memberi nafkah kepada anaknya. Selama ini, pemerintah mengsalahartikan kewajiban itu dengan kalimat sakti yang bernama ’subsidi’.

Setiap elemen masyarakat, harus buka mata terhadap subsidi sebagai ’ilmu yang salah kaprah’. Sudah menjadi keharusan bagi kita yang merasa sebagai bagian dari bangsa ini untuk segera melakukan analisis dan mengkaji, apakah pantas pemerintah menggunakan istilah ’subsidi’. Sebab sejak awal berkibarnya ’merah putih’ mensejahterakan rakyat sudah merupakan kontrak sosial dan menjadi harga mati.

Tak kalah penting perlu diperhitungkan secara matang oleh pemerintah, bila harga premium naik maka konsumen akan beralih ke bahan bakar sekelas pertamax di SPBU milik asing, seperti Shell, Total, dan Petronas. Akibatnya malah membuat masalah semakin semrawut, Pertamina tak lagi berkibar kecuali mati suri atau gulung tikar...

Selasa, 14 Februari 2012

Perpecahan Etnis dan Suku Akan Menguntungkan Musuh-Musuh Islam

Penulis : Ferdiansyah Ali, dari Global Future Institute
(Laporan dan Ulasan dari Acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan Seminar Internasional yang diselenggarakan Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) dan Majelis Ukhuwah Suni-Syiah Indonesia (MUHSIN), Sabtu 11 Februari 2012. Kontroversi seputar pernyataan Menteri Agama Suryadarma Ali yang menafikan Umat Muslim yang bermahzab Syiah, ternyata tidak berdampak buruk sama sekali bagi keberadaan dan kiprah Ikatan Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI). Sabtu 11 Februari yang lalu, Pengurus Pusat Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (PP IJABI) bekerjasama dengan Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia (MUHSIN), menggelar acara Maulid Nabi Muhammad SAW, di Gedung SMESCO Tower, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Acara yang berlangsung dari Jam 8 pagi sampai jam 14 siang tersebut, mengundang beberapa tokoh penting dari Iran maupun korps diplomatik Kedutaan Besar Iran yang langsung dipimpin oleh Duta Besar Republik Islam Iran Dr Mahmoud Farazandeh. Sedangkan dari Iran hadir Ayatullah Maulawi Naim Abadi, Khatib dan Imam Jumat Masjid Bandar Abbas, Iran, sekaligus anggota Majelis Ahli (Dewan Penasehat) Pemimpin Spiritual Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, dan Ayatullah Dr Biazar Syirazi (Rektor Uiniversitas Taqrib Iran). Bukan itu saja. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang sekaligus digelar Seminar Internasional tersebut, selain dihadiri oleh sekitar 2300 peserta, juga menghadirkan DR Maidir Harun, mewakili Ketua Umum PBNU yang kebetulan berhalangan hadir. Daud Poliradja selaku Ketua Majelis Ukhuwah Sunni Syiah (MUHSIN). Dari kalangan pemerintahan, hadir Dr Perwira, Deputi VI Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Dr Perwira dan Dubes Republik Islam Iran DR Mahmoud Farazandeh bertindak sebagai Keynote Speaker. Sayangnya, acara yang berlangsung semarak dan penuh kekeluargaan tidak dapat dihadiri dari pihak PP. Muhammadiyah dengan alasan yang tidak jelas kepada panitia pelaksana. Selain itu, dari Global Future Institute (GFI) yang turut diundang dalam acara tersebut mengutus perwakilannya yaitu Rusman (Direktur Koorporasi) dan Ferdiansyah Ali (Manager Program). Selain memenuhi undangan tersebut, Tim GFI juga melakukan peliputan berita guna memberitakan acara tersebut dalam situsnya www.global-review.com. Lalu apa hal menarik yang berkumandang pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan Seminar Internasional tersebut? Salah satunya, tentu saja tausiah yang disampaikan yang mulia Ayatullah Maulawi Naim Abadi. “Mereka yang bermazhab syiah, ahlussunnah waljamaah, atau mazhab lainnya, perlu diperhatikan tentang pentingnya memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, karena kelahiran Nabi Muhammad SAW merupakan hal yang sangat besar, sebuah nikmat yang besar karena pada saat itu manusia agung dilahirkan. Peringatan maulid merupakaan ekspresi kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW.” Begitu ujar Ayatullah Maulawi Naim Abadi. Namun ini baru prakata awal, semacam tembakan pembuka. Selanjutnya tokoh spiritual Iran tersebut mulai mengarahkan bidikannya pada sasaran sesungguhnya. Dan ternyata benar. Beliau mengatakan, “namun sangat di sayangkan dalam umat Islam, ada kelompok kecil yang mereka menisbatkan kepada Islam, yang menganggap hal-hal yang berisi pujian-pujian, penghormatan dan pengagungan kepada nabi ini merupakan sebagai sebuah tradisi yang tidak pernah ada pada zaman nabi dan menganggap hal ini sebagai sebuah bid'ah. Sebagai sebuah hal yang baru, yang tidak di syariatkan kepada agama yang disampaikan oleh nabi.” Pada tataran ini, Ayatullah Maulawi mulai menyentuh isu strategis yang cukup menarik, bahkan bagi Indonesia yang notabene berpenduduk mayoritas Muslim. Yaitu keterkaitan antara Agama, tradisi dan adat istiadat. Dalam paparan Ayatullah Maulawi lebih lanjut, ketika Islam masuk dalam sebuah wilayah tidak dengan serta merta memberangus adat istiadat dan kebudayaan setempat. Namun Islam harus mengakulturasikan kebudayaan-kebudayaan yang ada di wilayah tersebut. Yang menjadi syarat bagi Islam adalah apakah hal tersebut bertentangan dengan tauhid atau tidak. Bila bertentangan maka Islam akan langsung melarangnya. Bila hal tersebut tidak mengandung unsur-unsur yang mencederai tauhid kepada Allah SWT maka hal tersebut diperbolehkan. Dalam pandangan penulis, pandangan Ayatullah Maulawi menarik dan sangat relevan ketika menelusur kembal sejarah penyebaran Agama Islam di bumi Nusantara, ketika para Wali berhasil mensenyawakan Islam dengan tradisi dan adat istiadat dari masing masing daerah di Indonesia. Karena itu, pandangan Ayatullah Maulawi patut diapresiasi di Indonesia karena secara tersirat berarti menafikan sebuah pandangan yang berkembang selama ini bahwa Islamisasi identik dengan Arabisasi. Bahkan Ayatullah Maulawi lebih lanjut merasa perlu mengingatkan bahwa bahaya terbesar datang dari orang-orang yang mengatakan bahwa Islam itu kaku, Islam selalu mempersulit. Sementara Islam itu sendiri datang untuk memberikan syariat yang mudah, yang nantinya dapat diterima oleh seluruh bangsa dan negara yang ada didunia. Menariknya lagi, Ayatullah Maulawi mengutip dalam buku Sayyid Quthub berjudul "Masa Depan untuk Islam" bahwa masa yang akan datang adalah merupakan masa-masa kejayaan Islam. Namun pihak-pihak yang lain berusaha untuk menghalangi pihak Islam berkembang.” Dari uraian ini, Ayatullah Maulawi mulai menyentuh isu-isu internasional terkait dengan perkembangan Islam. Khususnya terjadinya demoralisasi yang terjadi di dunia peradaban barat baik Amerika Serikat dan Eropa. “Kita bisa melihat bahwa kini Uni Soviet telah runtuh. Dan pada saat ini kita melihat dunia barat menjalani kehidupan mereka. Misalnya di Amerika sudah sebanyak 52% dari anak-anak yang lahir tidak memiliki ayah. Orang-orang Eropa dan yang lainnya di dunia ini mulai putus asa dengan sistem yang ada, sistem kapitalis. Mereka putus harapan. Oleh karena itu satu-satunya hal yang dapat menghilangkan rasa putus asa adalah Islam.” ujarnya lebih lanjut. “Oleh karena itu perpecahan etnis ataupun suku merupakan keuntungan bagi musuh-musuh Islam.” Sementara itu dalam sambutannya sebagai salah satu keynote speaker, Dubes Iran Farazandeh yang berbicara Inggris dan Indonesia, menyampaikan apresiasi yang tinggi atas pelaksanaan Maulid Nabi saw yang dilaksanakan bersama oleh para pengikut mazhab Ahlulbait dan Ahlussunnah. Persatuan Islam adalah modal yang sangat besar bagi upaya untuk membangun umat Islam, sehingga dapat berkontribusi bagi pembangunan bangsa dan kemajuan peradaban manusia. Yang tak kalah menarik adalah presentasi dari DR Maidir Harun yang dalam hal ini mewakili Ketua Umum PBNU. Menurut DR Maidir Harun, bahwa sebenarnya yang menjarakkan antara sunni dan syiah itu bukanlah masalah aqidah, akan tetapi masalah politik. Syiah dan Sunni adalah satu aqidah, satu kitab Alquranul Karim. Oleh karena itu saya sangat sepakat sekali degan apa yang ditulis oleh penulis terkenal Abu Dahra, yaitu syiah adalah salah satu mazhab yang ada dalam Islam. Lebih lanjutnya DR. Maidir Harun mengutarakan “Ketika persatuan itu terwujud, kekuasaan Islam berkembang menembus kerajaan Persia dan Romawi. Akan tetapi ketika persatuan itu pecah maka disitulah kita melihat ada problem-problem yang dihadapi umat Islam. Dan kita melihat perpecahan dan perselisihan itu lebih banyak disebabkan oleh kepentingan politik. Kepentingan yang tidak prinsip yang membuat umat islam terpecah.” Lebih jauh beliau mengatakan bahwa seperti yang diungkapkan Yusuf Qardhawi dalam sebuah bukunya menjelaskan bahwa Islam adalah peradaban besar. Ada perbedaan esensial antara peradaban islam yang memiliki nilai ritual dan sakral dengan peradaban sekuler barat yang hampa nilai ritual dan sakral. “Seluruh aspek kehidupan umat islam, apapun yang dilakukannya disamping memiliki nilai profan duniawi juga memiliki nilai sakral. Inilah keutamaan peradaban islam yang menjanjikan masa depan. Sekarang ini memang sedang mengalami krisis peradaban. Prinsip ekonomi sekuler, kapitalisme yang mereka telah laksanakan selama ini menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan ekonomi mereka.” imbuhnya. Kemudian tampil sebagai nara sumber berikut adalah Ayatullah Dr Biazar Syirazi (Rektor Uiniversitas Taqrib Iran). Dalam paparannya beliau mengutip salah seorang penulis terkenal DR. Muhammad Husein Haekal dalam bukunya "Sejarah Hidup Muhammad" menyebutkan bahwa apabila kita ingin meneladani nabi besar Muhammad SAW dalam mempersatukan umat kita harus menengok bagaimana kehidupan nabi Muhammad SAW ketika diutus. Saat itu nabi diutus di sebuah lingkungan yang sangat penuh dengan perbedaan, perselisihan dan bahkan peperangan. Bagaimana dalam sejarah, nabi dapat menyatukan kaum-kaum dan suku-suku di jazirah Arab tersebut. Hal itulah yang akan dapat menuntun kita. Adapun sumber dari segala perselisihan tersebut adalah bersumber dari hati yang tidak bersih, hasut, dimana bersumber dari segala yang bersifat syaitan. “Oleh karena itu salah satu tugas dan risalah penting nabi adalah mensucikan jiwa manusia. Karena penyucian jiwa merupakan sumber kebaikan. Kesukuan, egoisme dan hal-hal yang bersifat etnis merupakan hal yang tidak diinginkan oleh Allah SWT. Dan manusia dituntun oleh nabi Muhammad SAW untuk menjauhi hal yang bersifat kesukuan dan ras, sehingga akan mendapat petunjuk yang menuju pada Islam.” jelas beliau. Sementara itu dalam sambutan pembukanya, Dr. Perwira menjelaskan pentingnya menjaga kemajemukan bangsa dengan mengedepankan semangat keindonesiaan. Indonesia adalah negara demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat dan menunjung tinggi HAM. Dalam demokrasi yang dianut bangsa kita, semua kelompok, semua agama dan semua paham dijamin keberadaannya, sesuai perintah konstitusi. Karena itu, umat beragama dapat menjalankan keyakinannya sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku serta tidak mengganggu ketertiban umum. Acara tersebut boleh dibilang cukup berhasil dan lancar, tanpa hambatan sebagaimana sempat dikuatirkan panitia pada awalnya. Dengan dihadari hampir 2300 orang, khususnya Pengurus IJABI dari sebagian besar dari daerah yang di Pulau Jawa. Bahkan hadir juga pengurus IJABI dari Papua. Satu bukti nyata bahwa gerakan terselubung untuk memecah belah umat Islam, khususnya antara Sunni dan Syiah, praktis telah gagal total. Kemudian sebagai pembicara penutup, yang disampaikan oleh DR. KH. Jalaluddin Rakhmat (Ketua Dewan Syura IJABI) dengan mendukung apa yang telah disampaikan oleh Ayatullah Maulawi, mengutip hadist Nabi Muhammad SAW, pada saat Haji Wada’ dimana 1400 sahabat sedang berkumpul pada saat itu, kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda: “... tahukah kamu bulan apa sekarang? ini, bulan suci. Tahukah kalian hari apakah ini? Ini hari yang suci. Tahukah kalian negeri apakah ini? negeri yang suci. Ketahuilah bahwa darah, kekayaan dan kehormatan orang Islam itu sama sucinya dengan bulan ini, hari ini, dan negeri ini. Tidak boleh darah orang Islam ditumpahkan, tdk boleh kehormatan orang Islam dijatuhkan, tdk boleh harta mereka dicampakkan.... Wahai kaum muslimin, aku berpesan jaganlah kalian kafir sepeninggalku, yaitu kamu saling membunuh diantara sesama kamu. Pada saat itulah, kalau kamu sudah saling membunuh, kamu sudah kembali pd kekafiran...” Pada penghujung acara seluruh peserta, para pembicara dan kaum fakir miskin di sekitar lokasi disuguhkan panitia untuk makan bersama Nasi Tumpeng. Sebagai sebuah simbol kebersamaan dengan tetap dalam kerangka kebudayaan bangsa Indonesia. Catatan: Artikel ini dimuat juga di www.theglobal-review.com

Selasa, 05 April 2011

Hidupkan Kembali Gagasan NEFOS Bung Karno

Penulis : Ferdiansyah Ali (Program Manager Global Future Institute)
(Mengenang Pidato Bung Karno Di Sidang Umum PBB, 30 September 1960) “Lebih dari pada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar dari keduanya itu dan kami telah diilhami, oleh keduanya itu… tetapi dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi dalam dua pihak...” Langkahnya tegap. Tampak aura kepercayaan diri yang tinggi terpancar. Dengan seragam putih-putihnya yang khas. Dan kepalanya berkopiah hitam dengan dimiringkan sedikit kekiri sebagai tanda bentuk ‘perlawanan’. Bung Karno berbicara di depan Majelis Umum PBB pada tanggal 30 September 1960. Dengan nadanya yang bergetar dan mendapatkan sejumlah applaus dari para audiens, Bung Karno menawarkan gagasan briliannya, “To Build the World A New”. “Kita menginginkan satu Dunia Baru penuh dengan perdamaian den kesejahteraan, satu Dunia Baru tanpa imperialisme dan kolonialisme dan exploitation de l'homme par l'homme et de nation par nation.” Kemudian Bung Karno melanjutkannya, “….lebih dari pada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar dari keduanya itu dan kami telah diilhami, oleh keduanya itu… tetapi dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi dalam dua pihak...” Dengan retorika yang sangat cerdas, setiap pernyataan Bung Karno mendapat sambutan hangat dari negara-negara berkembang yang ketika itu hadir. Mereka menganggap pernyataan tersebut dianggap relevan mewakili sikap dan pandangannya. Bung Karno mengutarakan sebuah gagasan briliannya, dimana salah satunya adalah dengan pembagian dunia menjadi dua blok. Yaitu blok Old Established Forces (OLDEFOS) yang diartikan sebagai kekuatan lama yang masih bercokol, yang secara kasar diartikan sebagai negara imperalis dan kapitalis. Kemudian blok The New Emerging Forces (NEFOS) yang diartikan sebagai kekuatan baru yang sedang lahir, dengan menggalang kekuatan dari negara-negara berkembang yang masih memperjuangkan kemerdekaannya. Adanya dua kekuatan ketika itu, yaitu blok kapitalis yang berkubu pada Amerika Serikat, dan blok sosialis yang berkubu pada Uni Soviet, dimana equilibrium global ketika itu mau tidak mau hanya diatur antara kedua kekuatan tersebut. Mereka hanya meyakini bahwa terciptanya sebuah perdamaian dunia diukur melalui sebuah perlombaan adu senjata yang seimbang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Perimbangan dunia dalam mengamankan dunia dari ancaman instabilitas ini hanya berdasarkan dari perhitungan secara matematis. Pada akhirnya itulah yang menjadi alasan lahirnya NATO dan Pakta Warsawa. Sebenarnya gagasan Bung Karno ini sekaligus menolak analisis yang disampaikan Mao Tse Tung dengan konsep “Dunia Ketiga”. Mao membagi dunia menjadi tiga blok. Pertama blok negara-negara industri kapitalis. Kemudian kedua blok negara-negara sosialis, dan ketiga adalah blok “Dunia Ketiga”. Memang istilah “Dunia Ketiga” ini menjadi perbendaharaan kata politik dunia hingga saat ini. Akan tetapi perkembangan pergulatan politik dunia saat ini lebih akurat seperti yang digambarkan oleh Bung Karno. Semenjak runtuhnya Uni Soviet, negara-negara eks blok sosialis kini berperan sebagai pemerintahan progresif negara berkembang. Sementara Kuba dan Vietnam tidak lagi mencerminkan sebagai blok sosialis tetapi bergerak sebagai bagian perlawanan negara berkembang. Pergulatan Politik Dunia Kini Tsunami politik yang terjadi di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara begitu menyentak negara-negara Barat. Besarnya protes rakyat yang mengguncang kawasan tersebut membuat perubahan perimbangan kekuasaan. Negara Barat, yang sejatinya dikatagorikan dalam blok oldefos, mulai merasakan kekhawatiran dan kecemasannya. Dengan menggunakan berbagai cara mereka berusaha untuk tetap menancapkan pengaruhnya di kawasan ini. Bisa dilihat ketika negara barat merasa tidak lagi mampu ‘menguasai’ Khadafi, mereka menggunakan resolusi DK PBB No. 1973 untuk melakukan invasi ke Libya. Bahkan kemungkinan akan mempersenjatai kaum revolusi Libya. Kemudian pada kondisi di Bahrain, mereka memiliki sikap yang berbeda dalam menyikapi intervensi militer asing untuk menumpas aksi protes rakyat yang dilakukan secara damai. Bahkan cenderung mendiamkannya. Tindakan semau-maunya yang dilakukan oleh negara barat untuk menyelematkan kepentingannya yang berada di negara berdaulat ini bukan kali pertama. Pada September 2010, dalam serbuan yang berlangsung di Provinsi Ghazni sebelah barat daya Kabul, militer pimpinan Pakta Atlantik Utara (NATO) melancarkan serangan udaranya dalam serangan udara selama pertempuran dengan Taliban. Tak kalah ironisnya, pada tahun 2003 dengan alasan Irak memiliki senjata pemusnah massal, Amerika Serikat dan sekutunya menyerang Irak. Ratusan ribu orang tewas, rezim Saddam Hussein pun runtuh. Dunia tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada kekuatan yang mampu memainkan equilibrium global. Dunia hanya digiring oleh Amerika dan para sekutunya untuk ‘memahami’ intervensi militer yang dilakukannya di beberapa negara berdaulat. Bila hal ini terus berlanjut, maka analisis Hendrajit dalam tulisannya “Krisis Timur Tengah, Minyak dan Operasi Siluman” bahwa apa yang sedang terjadi di dunia saat ini, termasuk yang sedang bergolak di Libya dan Bahrain, merupakan operasi siluman dari hajatan kedua pengusaha minyak, yaitu konglomerat besar Rockefeller dan Rothschild, terus berjalan tanpa dapat dihentikan. Gagasan NEFOS Saatnya Di Hadirkan Dunia sudah seharusnya tidak lagi menutup mata terhadap apa yang dilakukan oleh negara-negara barat. Sudah saatnya perlu dihadirkan kekuatan penyeimbang yang mampu menjaga stabiitas perdamaian dunia. Harus ada kekuatan yang mampu menghentikan, atau paling tidak mengimbangi, dari keangkuhan negara industri kapitalis yang merupakan perwujudan dari negara-negara blok oldefos. Perlu adanya penataan ulang dunia yang lebih baik. Penataan yang jauh dari upaya-upaya penginjak-injakkan hak bangsa, penataan dunia yang lebih berprikemanusiaan. Indonesia, sebagai pelopor yang melahirkan gagasan The New Emerging Forces (NEFOS) dari putra bangsa terbaiknya, harus memulai menawarkan gagasannya. Sebagai sebuah negara besar, dengan wilayah geopilitik yang sangat strategis dan sumber daya alam yang sangat melimpah, bukan hal yang tidak mungkin dilakukan Indonesia dalam memimpin perubahan sebuah peradaban dunia yang baru. Pada tingkatan kawasan terkecil, sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, posisi Indonesia masih menjadi penentu. Indonesia, relatif bersahabat dengan semua negara. Mulai dengan Rusia, Amerika Serikat, China, Jepang, korea, India, Iran, dan negara-negara lainnya. Indonesia mampu menjadi kekuatan penyeimbang tersebut. Beberapa fakta yang tidak mungkin bisa dibantah lagi adalah, pertama, Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar ke empat di dunia. Kedua, Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ke tiga di dunia setelah India dan AS sendiri. Ketiga, Indonesia adalah negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Dan yang keempat, Indonesia adalah negara terbesar di antara sepuluh negara anggota ASEAN. Dengan ‘modal’ sebagai negara muslim terbesar, Indonesia memiliki kesempatan emas memainkan peranan penting dalam upaya mencari jalan perdamaian di kawasan Timur Tengah yang saat ini penuh dengan konflik. Bersahabatnya Indonesia dengan Amerika Serikat dan sekaligus dengan Iran, merupakan point plus dalam menjembatani sebagai mediator pada konflik kedua negara tersebut. Belum lagi pada kondisi konflik di Palestina, dimana Indonesia memiliki hubungan yang relative baik dengan kedua kubu yang sedang bertikai, yaitu kubu Fatah (yang didukung oleh Barat) dengan kubu Hamas (yang didukung oleh Iran dan Syria). Inilah saatnya Indonesia untuk berperan aktif dalam pergelutan politik internasional, tidak selalu berperan dengan gaya ‘low profile’ nya yang selama ini dijalankan. Dengan mengambil peran sebagai kekuatan keseimbangan, Indonesia bisa bergerak dari satu pijakan ke pijakan lain tanpa perlu khawatir. Justru mampu berdiri di depan dalam menciptakan keseimbangan di kawasan. Gagasan NEFOS yang disampaikan Bung Karno sangatlah tepat untuk segera diimplementasikan di era kini. Gagasannya yang visioner sangatlah akurat dalam menggambarkan kondisi politik dunia saat ini. Sekiranya Bung Karno masih hidup, bisa kita bayangkan betapa gembira hatinya karena melihat bila perjuangan revolusionernya yang telah ditekuni selama hidupnya dalam penentangan kolonialisme dan imperialisme mulai terlihat dan adanya kemajuan-kemajuan yang cukup besar. Inti dari seluruh gagasan Bung Karno secara jelas terangkum dalam pidato pembukaan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada April 1955. “Dan saya minta kepada Tuan-tuan, janganlah hendaknya melihat kolonialisme dalam bentuk klasiknya saja, seperti yang kita di Indonesia dan saudara-saudara kita di berbagai wilayah Asia-Afrika mengenalnya. Kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektuil, penguasaan materiil yang nyata, dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal di tengah-tengah rakyat… Di mana, bilamana dan bagaimanapun ia muncul, kolonialisme adalah yang jahat, yang harus dilenyapkan dari muka bumi." Begitulah. Pidato Bung Karno inilah yang menjiwai lahirnya Dasa Sila Bandung, khususnya bagian D sub I-a, yang akhirnya terumuskan dalam kalimat: “Kolonialisme dalam segala manifestasinya adalah suatu kejahatan yang harus segera diakhiri.” Catatan: Artikel juga dimuat di www.theglobal-review.com

Sabtu, 26 Maret 2011

Bung Karno Dan Perlawanan Indonesia Terhadap Imperialisme

Penulis : Ferdiansyah Ali (Program Manager Global Future Institute)
Pagi itu, Senin 18 April 1955 di Gedung Merdeka, Presiden Pertama RI Ir. Soekarno, berdiri di depan Mimbar Konferensi Asia Afrika. Dengan penampilan yang meyakinkan dan intonasi suara yang gegap gempita berbicara tentang jahatnya kolonialisme … “Colonialism has also its modern dress, in the form of economic control, intellectual control, actual physical control by a small but alien community within a nation. It is a skilful and determined enemy, and it appears in many guises. Look, the peoples of Asia raised their voices, and the world listened”. Dan pada penutup pidatonya Bung Karno menyampaikan: "I hope that it will give evidence of the fact that we, Asian and African leaders, understand that Asia and Africa can prosper only when they are united, and that even the safety of the world at large can not be safeguarded without a united Asia-Africa. I hope that it conference will give guidance to mankind, will point out to mankind the way which it must take to attain safety and peace. I hope that it will give evidence that Asia and Africa have been reborn, that a New Asia and New Africa have been born !" Pidato Bung Karno ini berhasil menarik perhatian, mempesona, dan mempengaruhi hadirin, terbukti dengan adanya usul Perdana Menteri India, ketika itu Jawaharlal Nehru, yang didukung oleh ke dua puluh empat peserta konferensi untuk mengirimkan pesan ucapan terimakasih kepada presiden atas pidato pembukaannya. Pada pidato tersebut tercermin sebuah ketegasan sikap Bung Karno terhadap penentangan kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan terhadap negara-negara Asia dan Afrika. Ketegasan sikap Bung Karno memperjelas posisi Indonesia di mata negara-negara Asia dan Afrika. Indonesia memiliki harkat dan martabat sebagai bangsa penentang ‘kejahatan penjajahan’. Hingga sejarah pun menulisnya dengan ‘tinta emas’ yang terkenang sampai saat ini. Agresi Negara Koalisi di Libya Dengan berpegangan kepada mandat Dewan Keamanan melalui Resolusi 1973, seperti bentuk legitimasi negara-negara koalisi untuk melakukan aksi militernya di Libya. Sebuah resolusi yang tujuan awalnya untuk menyelamatkan masyarakat sipil dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh penguasa berubah menjadi agresi militer. Mengutip laporan dari beberapa media, serangan tersebut menghantam fasilitas non-militer di kota Tripoli, Tarhuna, Maamura dan Zhmeil. Akibatnya, 48 warga sipil dilaporkan tewas dan 150 lainnya terluka. Serangan itu juga telah merusak sebuah rumah sakit jantung, jalan, dan jembatan. Agresi militer tersebut semakin terlihat bagaikan penyerangan beberapa negara terhadap negara yang berdaulat. Dan tidak menutup kemungkinan kondisi ini akan berujung seperti yang terjadi di Irak dan Afghanistan. Serangan yang bermaksud untuk meredakan krisis malah justru menjadi pelanggaran terhadap Piagam PBB dan hukum-hukum hubungan internasional. Disinyalir memang semenjak awal negara-negara koalisi yang dikomandoi oleh Perancis, Inggris dan Amerika mempunyai kepentingan lain. Cadangan minyak adalah alasan utama yang menjadi agenda penyerangan tersebut. Di mana Libya merupakan penyuplai terbesar terhadap sejumlah korporasi energi raksasa semacam Exxon Mobil, Texaco, BP Amoco dan Shell. Sekadar informasi, Cadangan minyak Libya 44 miliar per barel tiap harinya. Sungguh fantastis mengingat penduduk Libya hanya sekitar 6 juta. Sedangkan Indonesia saja saat ini cuma 4 miliar per barel padahal penduduk Indonesia saat ini sekitar 230 juta. Ya pantaslah kalau koalisi sekutu sepertinya sangat bernafsu untuk menggempur Libya. Karenanya sungguh tidak mengagetkan juga ketika muncul pernyataan melegitimasikan adanya opsi militer kala Presiden Obama menyatakan bahwa AS memiliki kebijakan untuk menurunkan Khadafi atau 'Khadafi need to go'. Yang bertentangan dengan Resolusi 1973 dimana tidak memandatkan agar Moammar Khadafi untuk turun dari kekuasaan. Sebenarnya hal ini sudah dapat dijadikan pegangan untuk menjadikan serangan koalisi dari dapat dibenarkan (sah) menjadi illegal (unjust war). Posisi Indonesia Dimana? Setelah agresi meiliter yang dilakukan oleh negara-negara koalisi begitu banyak pengutukan yang disampaikan dari beberapa negara. Dan tentunya, ada juga pernyataan yang mendukung dari beberapa negara yang mempunyai kepentingan terhadap minyak di Libya dan sebagian besar negara-negara yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk. Bisa kita lihat kritikan pedasnya yang disampaikan oleh Beijing dengan menuduh negara-negara pendukung serangan melanggar peraturan internasional dan menghendaki kerusuhan baru di Timur Tengah. Kemudian dari Presiden Paraguay Fernando Lugo yang mengatakan: ”Saya menyesalkan bahwa PBB telah melegitimasi serangan-serangan itu.” Tak kalah galaknya apa yang disampikan oleh Presiden Venezuela Hugo Chavez: ”Imperium Yankee mengambil keputusan untuk menggulingkan Gaddafi dan meraup keuntungan atas pemberontakan yang terjadi di Libya, dan selanjutnya menyedot minyak negara itu." Kepala Institut Analisa Politik dan Militer Rusia, Kolonel Anatoly Tsyganok pun mengutuknya dengan menganggap serangan AS, Inggris dan Perancis ke Libya sama dengan invasi mereka ke Irak. Begitu pula apa yang disampaikan oleh Jurubicara Kementerian Luar Negeri Iran Ramin Mehmanparast dengan mengatakan sebagai kekuatan arogan menduduki negara-negara lain demi kepentingannya dengan dalih mendukung rakyat di negara itu. Lalu bagaimana dengan sikap Indonesia? Negara yang begitu keras bersikap pada saat pencetusan Konferensi Asia Afrika waktu itu terhadap penentangan kolonialisme dan imperialisme. Negara yang ‘terpandang’ terutama di mata negara-negara Afrika ketika itu. Pada peristiwa ini Indonesia tidak memiliki sikap yang tegas. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa memberikan pandangannya dalam menyikapi agresi militer tersebut dengan ucapan: "Kita sejak awal memandang perlu masyarakat internasional mengambil langkah untuk menyelamatkan warga sipil yang tidak berdosa. Namun, dalam pelaksanannya dilakukan secara terukur dan tidak menimbulkan masalah baru." Sangat normatif dan terkesan berhati-hati. Tidak tampak ucapan yang mewakili sebagai negara penentang keras imperialisme. Seharusnya Pemerintah Indonesia mampu menyuarakan agar serangan negara koalisi segera dihentikan. Jangan sampai pemerintah dianggap tidak sensitif terhadap agresi Barat terhadap negara-negara Afrika atau Timur Tengah. Solidaritas publik Indonesia harus dijadikan acuan pemerintah RI dalam menyikapi situasi di Libya. Terlebih Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar, negara berkembang, dan saat ini Ketua Asean sebuah organisasi yang memiliki prinsip larangan campur tangan urusan domestik negara lain, harus bersuara untuk mengingatkan negara-negara koalisi agar tunduk pada mandat Dewan Keamanan PBB dalam resolusi 1973. Hal ini memang bukan merupakan kali pertama yang ditunjukan Indonesia dalam menyikapi tindakan-tindakan neo-imperialisme negara Barat terhadap negara-negara berkembang. Sikap ini juga ditunjukkan pada saat penyerangan yang dilakukan di Irak dan Afghanistan. Bahkan terhadap kondisi yang berkaitan langsung dengan kedaulatan Indonesia sendiri. Hanya sekedar pernyataan yang normatif. Sebuah PR besar Pemerintahan Indonesia atas kinerja Diplomasi yang dijalankan… Catatan: Artikel ini pernah dimuat di www.theglobal-review.com