Senin, 21 Desember 2009

Hilangnya Nurani Keadilan

Dukungan dan rasa simpati yang diberikan kepada Prita Mulyasari terus saja mengalir meskipun batas akhir pengumpulan Koin Kepedulian sudah diakhiri. Tidak pernah ada yang menduga, ketika para relawan pengumpul koin kepedulian tersebut awalnya hanya untuk membantu membayarkan sanksi yang dijatuhkan kepada Prita sebesar Rp 204 juta sebagai bentuk dukungan dan simpatinya, ternyata mampu mengumpulkan hingga mendekati Rp 1 milyar bahkan tidak menutup kemungkinan akan mencapai angka Rp 1 milyar. “Hari ini jumlah uang koin yang terkumpul berjumlah Rp 670 juta. Tetapi masih ada beberapa uang koin yang belum dihitung, mungkin jumlahnya akan bertambah mencapai Rp 1 milyar.” ujar Prita.

Uang koin sebagai ungkapan simbol rakyat miskin melakukan perlawanan terhadap diskriminasi hukum yang terjadi. Mereka merasa senasib atas kejadian yang dialami Prita, korban penerapan hukum yang mengesampingkan nurani keadilan. Banyak diantara mereka yang mungkin pernah mengalaminya.

Selain Prita, masih banyak rakyat miskin yang mengalami kesewenangan hukum. Dihadapan kalangan rakyat kecil, hukum hadir dengan begitu perkasa, tegas dan sangat cepat sanksi dijatuhkan. Coba lihat, seorang nenek tua yang mengambil tiga buah kakao yang memang sudah jatuh dari pohonnya langsung dijerat hukuman. Kakek tua yang mengambil sabun dan kacang hijau untuk dihadiahkan kepada familinya ketika akan berkunjung di sebuah mini market, dengan gagahnya hukum langsung menjeratnya. Dengan ‘kekuasaan hukum’ yang sangat besar begitu mudahnya melakukan kesewenangan terhadap rakyat kecil. Sementara mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak tahu harus mengadu kemana ketika penerapan hukum dilakukan tanpa mengedepankan nuraninya.

Sementara ketika hukum berhadapan dengan para ‘pembesar’ begitu lamban proses hukum berjalan. Bahkan terkadang langsung dipeti-eskan. Meskipun sudah sangat gamblang bukti-bukti yang didapatkan, tetap saja ketika berhadapan dengan ‘pembesar’ hukum menjadi mandul. Malah terkesan para ‘pembesar’ sangat susah tersentuh dengan hukum.

Kamis, 12 November 2009

Pemadaman Listrik Ganggu Kegiatan Ekonomi Rakyat.

Sudah lebih dari dua jam Trisna dan temen-temennya hanya duduk-duduk bersendau gerau didepan rumah kontrakannya yang digunakan sebagi tempat memproduksi pakaian jadi dan tas-tas. Biasanya hampir seharian penuh, bahkan sampai malam hari aktifitas jahitan yang dilakukan mereka tak berhenti. Tapi kali ini tak ada aktifitas rutin yang dilakukan selain mengobrol diantara mereka.

Sesekali Pak Saherman pemilik bisnis garment tersebut menelpon Trisna untuk mengontrol rumah kontrakan tersebut yang masih gelap karena pemadaman listrik. Dengan jawaban yang sama Trisna mengatakan pada Pak Saherman bahwa listrik belum juga menyala. Cuma nada kekecewaan Pak Saherman yang terdengar dari suara telepon. “Gimana sih kok belum nyala juga tuh listrik, Tris. Udah dicek belum ada apaan didaerah sana, kok matinya lama bener! Rugi deh kita..”

Biasanya garment Pak Saherman dalam sehari bisa menyelesaikan pakaian sampai 50 lusin. Tapi karena mati listrik, para pekerjanya cuma bisa menyelesaikan sampai 20 lusin. Karena otomatis para pekerjanya tidak bisa melakukan apa-apa. Seluruh pekerjaannya dalam garment mengandalkan tenaga listrik. Itu kalau matinya 5-6 jam, kalau lebih dari itu tidak tahu berapa jahitan yang bisa diselesaikannya. Akibat mati listrik ini Pak Saherman merasa takut tidak dapat memenuhi pesanan dari kliennya. Selain itu, ia merasa dirugikan karena omset penjualannya otomatis akan merosot tajam.

Tidak jauh dari tempat Pak Saherman, ada usaha photocopy yang dijalankan Bang Harisman. Karena adanya pemadaman listrik praktis tidak ada aktifitas di tempat photocopy tersebut. “Rugi bandar, masukan nggak ada tapi kontrakan harus bayar terusin nih.” cetus Bang Harisman.

Masih banyak Pak Saherman dan Bang Regar yang lainnya. Karena listrik padam usaha-usaha mereka menjadi terhenti. Omset yang seharusnya mereka dapatkan menjadi hilang begitu saja. Begitu besar kerugian yang mereka dapatkan. Apalagi belakang ini sering sekali PLN melakukan pemadaman bergilir, dan belum tahu sampai kapan kondisi seperti terus berlangsung. Artinya siap-siap saja mereka mendapatkan kerugian yang lebih besar di masa-masa mendatang.

Ironisnya, apabila mereka terlambat melakukan pembayaran listrik, pihak PLN dengan cepat langsung mengenakan dendanya. Tidak peduli karena kesulitan apa yang sedang dihadapi. Sementara kalau terjadi pemadaman listrik seperti ini, jangankan pihak PLN peduli terhadap kerugian yang diderita para usaha-usaha kecil, permintaan maaf secara terbuka saja enggan dilakukan oleh PLN.

Dengan melihat kondisi seperti ini, sudah saatnya dilakukan reformasi struktur dan birokrasi di tubuh PLN. Tidak bisa lagi diterima alasan-alasan yang diberikan karena adanya gangguan teknis maupun alam. Adanya kinerja yang baik di tubuh PLN akan memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat penggunanya. Semestinya BUMN milik negara ini memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat bukan malah merugikan rakyatnya sendiri.

Jumat, 03 Juli 2009

Catatan Kritis Untuk Capres Negeri Bahari

Nenek moyangku seorang pelaut,
Gemar mengarung luas samudra,
Menerjang ombak tiada takut,
Menempuh badai sudah biasa...


Cuplikan sebuah lagu yang sangat patriotis dan menunjukan kebanggaan terhadap identitas asli negeri ini, yang sejak dahulu senantiasa mengingatkan kita bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa bahari yang sangat besar. Begitu perkasanya negeri ini menguasai lautan nusantara hingga membuat kekaguman pada dunia. Dimulai dari Kerajaan Sriwijaya yang berhasil menjadi kekuatan menguasai dominasi wilayah nusantara seluruh Sumatera sampai Malaya. Kemudian Kerajaan Singosari Kertanegaran dengan daerah kekuasaan yang sangat luas meliputi Pahang, Melayu, Gurun (Indonesia Timur), Bakulapura (Kalimantan), Sunda, Madura, dan seluruh Jawa, hingga Bali. Dan puncaknya pada masa Kerajaan Majapahit dengan wilayah kekuasaan yang terbagi dalam empat kelompok wilayah : (1) wilayah2 Melayu dan Sumatera : Jambi, Palembang, Samudra dan Lamori (Aceh), (2) wilayah2 di Tanjung Negara (Kalimantan) dan Tringgano (Trengganu), (3) wilayah2 di sekitar Tumasik (Singapura), (4) wilayah2 di sebelah timur Pulau Jawa (Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku sampai Irian). Daftar lengkap nama2 wilayah taklukan Majapahit tersebut ada di buku Fruin-Mess (1919) “Geschiedenis van Java” (Fruin-Mess mengumpulkannya berdasarkan Pararaton, Negara Kertagama, dan Hikayat Raja-Raja Pasai).

Eksistensi bangsa ini sebagai negeri bahari tetap berlanjut ketika diperkuat dengan Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 yang mendasari perjuangan bangsa Indonesia untuk menjadi negara kepulauan (Archipelagic State). Kemudian konsep Indonesia sebagai negara kepulauan ini diakui dunia setelah Konvensi Hukum Laut Internasional / United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1982, kemudian Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.

Berdasarkan pengakuan ini wilayah Indonesia mencapai 5,8 juta km2 (dari perhitungan secara kartografis) Di dalamnya terdapat lebih dari 17.500 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada di dunia, dengan kekayaan tak terhingga yang terkandung di dalamnya meliputi puluhan ribu spesies flora, fauna, dan mikroba. Ratusan spesies terumbu karang dan puluhan genera. Ditambah dengan sumber daya yang dapat diperbaharui seperti aneka jenis ikan, udang, kerang mutiara, hewan kerang, rumput laut, kepiting, hutan bakau, dan beragam biota laut lainnya. Kemudian sumber daya yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak bumi, timah, bauksit, gas alam, mangan, fosfor, bijih besi, gas alam, dan mineral lainnya. Belum lagi perairan Indonesia merupakan suatu wilayah perairan yang sangat ideal untuk mengembangkan sumber energi kelautan seperti gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion). Termasuk juga untuk pengembangan daerah wisata dan rekreasi laut dimana negeri ini begitu banyak memiliki pantai dengan panorama yang sangat indah. Begitu kaya bangsa ini dengan luas wilayah perairan yang dimilikinya.

Bahkan pada masa pemerintahan Bung Karno bangsa ini sempat menyandang gelar sebagai negara keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Uni Soviet,dan Iran yang memiliki armada laut terbesar. Jadi bila kita benar-benar resapi perjalanan besar sejarah bangsa ini sangatlah pantas para pendahulu kita begitu bangga dan sangat mengagung-agungkan nenek moyangnya sebagai seorang pelaut.

Ketidakpedulian terhadap Pengelolaan Pulau

Lalu cukupkah kita dengan membanggakan sejarah besar bangsa ini. Padahal kondisi tersulit adalah upaya-upaya untuk mempertahankan, mengamankan dan mengelola dari apa yang sudah kita miliki di seluruh wilayah negeri ini. Masih segar diingatan kita betapa menyesalnya ketika Pulau Sipadan dan Ligitan lepas dari wilayah kesatuan Republik Indonesia. Meskipun banyak data yang dijadikan pegangan untuk memperkuat argumen kepemilikan kedua pulau tersebut tetapi tetap saja kita kalah oleh Malaysia dalam Mahkamah Internasional. Kekalahan tersebut dikarenakan “kehadiran” Malaysia di kedua pulau tersebut lebih intensif daripada Indonesia. Soal intensitas dan pendudukan (continuous presence and effective occupation), menjadi salah satu pertimbangan yang menentukan dalam keputusan sidang penentuan kepemilikan kedua pulau tersebut di Mahkamah Internasional. Dimana selama masa sengketa, Malaysia dianggap telah banyak memberikan kontribusi terhadap pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan bagi masyarakat setempat. Sementara bangsa ini hanya acuh tak acuh terhadap keberadaan kedua pulau tersebut. Sebuah kelalaian yang semestinya tidak perlu terjadi.

Belum lagi berlanjut dengan konflik Blok Ambalat yang masih hangat-hangatnya, menyusul klaim Malaysia terhadap Blok Ambalat sebagai bagian dari wikayahnya. Sudah sangat sering kapal-kapal perang Negara Malaysia secara sengaja melewati batas teritorial negeri ini. Akan tetapi belum juga ada tindakan tegas dari pemimpin-pemimpin kita. Bukankah hal ini sudah sangat melecehkan martabat dan harga diri bangsa Indonesia.

Kondisi seperti ini haruslah menjadi pelajaran yang sangat berharga. Diluar Pulau Sipadan dan Ligitan masih banyak pulau-pulau yang tidak mendapatkan perhatian serius dari rezim pemerintahan bangsa ini. Terutama pulau-pulau terluar dari wilayah kesatuan Republik Indonesia. Lihat saja pada P. Rondo di perbatasan India, P. Berhala di perbatasan Malaysia, P. Nipah di perbatasan Singapura,P. Sekatung di perbatasan Vietnam, P. Marore, P. Mararnpit, P. Miangas di perbatasan Filipina, P. Fani, P. Fanildo, P. Bras di perbatasan Palau, P. Batek di perbatasan timor Leste, P. Mangudu di perbatasan Australia. Di beberapa pulau tersebut secara ‘de facto’ sudah menjadi bagian dari negara tetangga. Dimana dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat setempat sudah terbiasa disuguhkan siaran televisi negara tetangga. Bahasa pergaulan yang digunakannya adalah bahasa asing. Hingga dalam transaksi jual beli pada aktifitas kesehariannya senantiasa menggunakan mata uang dari negara tetangga. Kondisi ini membuat secara tidak langsung penduduk pulau-pulau tersebut ada dalam suasana penguasaan Negara tetangga.

Sektor Kelautan Membawa Kesejahteraan Rakyat

Sebuah negara kepulauan dengan dua pertiga dari seluruh luas wilayahnya adalah terdiri dari lautan memiliki begitu banyak kekayaan sumber daya kelautan baik dilihat dari kuantitas maupun keragamannya. Dengan kekayaan laut yang melimpah ini, sayangnya belum termanfaatkan secara optimal. Sumber daya kelautan yang begitu melimpah ini hanya dipandang “sebelah mata”. Kalaupun ada kegiataan pemanfaatan sumber daya kelautan, maka dilakukan kurang profesional dan ekstraktif, kurang mengindahakan aspek kelestariannya. Bangsa Indonesia kurang siap dalam menghadapi segala konsekuensi jati dirinya sebagai bangsa nusantara atau negara kepulauan terbesar di dunia karena tidak disertai dengan kesadaran dan kapasitas yang sepadan dalam mengelola kekayaannya. Di satu sisi Indonesia memposisikan diri sebagai negara kepulauan dengan kekayaan lautnya yang melimpah, tetapi di sisi lain Indonesia juga memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani yang masih berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan dalam industri modern, negara kita kalah bersaing dengan negara lain. Semua ini berdampak juga terhadap sektor industri kelautan sehingga menimbulkan banyak masalah berkaitan dengan pemanfaatan kekayaan laut.

Bila kita perhatikan keragaman sumberdaya laut untuk jenis ikan diketahui terdapat 8.500 jenis ikan pada kolom perairan yang sama. Potensi perikanan tangkap diperkirakan mencapai 6,26 juta ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,007 juta ton atau 80% dari MSY (Maximum Sustainable Yield). Hingga saat ini jumlah tangkapan mencapai 3,5 juta ton sehingga tersisa peluang sebesar 1,5 ton/tahun. Seluruh potensi perikanan tangkap tersebut diperkirakan memiliki nilai ekonomi sebesar US$15.1 milyar.

Kemudian pengeksplorasian potensi Sumber Daya Alam (dalam hal ini tambang dan minyak) yang terdapat pada puluhan ribu pulau tersebut perlu dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Potensi SDA yang baru di eksplorasi di beberapa pulau ini perlu terus dikembangkan Di identifikasikannya timah yang berada di Bangka dan Sumbawa, Aspal di Buton, penyimpanan minyak di pulau Weh, Pulau Klab, Pulau Rondo, Endapan Batubara di Daerah Marginal kepulauan Nias, Sumber Daya dan Cadangan Bahan Galian Untuk Pertambangan Skala Kecil di Pulau Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur Potensi SDA yang sangat besar ini mendorong diperlukannya investigasi teknologi yang terpadu untuk kemudian bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh bangsa Indonesia.
Menurut Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam, BPPT dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 milyar barel setara minyak, namun baru 16,7 milyar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5 milyar barel di antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 milyar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 milyar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 milyar barel terdapat di laut dalam.

Perairan Indonesia merupakan suatu wilayah perairan yang sangat ideal untuk mengembangkan sumber energi OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion). Hal ini dimungkinkan karena salah satu syarat OTEC adalah adanya perbedaan suhu air (permukaan dengan lapisan dalam) minimal 20 0C dan intensitas gelombang laut sangat kecil dibanding dengan wilayah perairan tropika lainnya. Dari berbagai sumber pengamatan oseanografis, telah berhasil dipetakan bagian perairan Indonesia yang potensial sebagai tempat pengembangan OTEC. Hal ini terlihat dari banyak laut, teluk serta selat yang cukup dalam di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan OTEC.

Dari data yang disampaikan diatas, sebenarnya masih banyak lagi yang dapat dilakukan dalam pengembangan sektor kelautan di negeri ini. Seperti pemenuhan prasarana dan infrastruktur transportasi laut yang masih sangat potensial. Pengembangan potensi pariwisata laut, sektor pariwisata tentunya merupakan salah satu potensi unggulan Indonesia untuk mendatangkan turis asing dan tentu saja devisa asing ke dalam negeri.
Bisa kita bayangkan bila negeri yang besar ini benar-benar ditangani secara baik, arif, dan bijaksana maka sejahteralah semua rakyatnya. Dan tidak mustahil bangsa Indonesia akan menjadi negara besar dan tidak lagi dipandang sebelah mata.

Catatan Kritis untuk CAPRES Tahun 2009

Riuh rendah pemilihan presiden tahun 2009 sudah mulai terasa. Para Tim Sukses dari masing-masing calon sudah mulai memaparkan visi dan misi, bahkan mulai saling melempar kritik dari visi dan misi yang diajukan tersebut. Tapi dari ketiga pasangan yang muncul belum ada satupun program yang ditawarkan menyentuh secara spesifik masalah sektor kelautan. Padahal, dari paparan yang disampaikan diatas, sektor kelautan adalah permasalahan yang paling fundamental di negeri ini sebagai sebuah negara kepulauan.

Dari pemaparan diatas semestinya para capres-capres yang akan berkompetisi pada pemilihan presiden tahun ini menjadi sadar dan dapat merenunginya. Sehingga dari potensi kelautan yang dimiliki bangsa Indonesia dapat memberikan kesejahteraan rakyat. Ada beberapa catatan kritis untuk para pasangan capres pada pemilihan presiden tahun 2009 ini sebelum benar-benar nantinya terpilih sebagai presiden yang memimpin sebuah negara bahari yang sangat besar ini, yaitu :

1)Wilayah perairan bangsa Indonesia yang demikian luas menjadi beban tanggung jawab yang besar dalam mengelola dan mengamankannya. Untuk mengamankan laut yang begitu luas, diperlukan kekuatan dan kemampuan dibidang maritim yang besar, kuat dan modern. Untuk dua hal tersebut (pengamanan dan pengelolaan), diperlukan batas laut yang pasti dan tegas sebagai “pagar” negara nusantara Indonesia dalam rangka melindungi, mengamankan dan menegakkan kedaulatan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Penegakan kedaulatan dan pengamanan wilayah perairan bangsa dapat dilakukan dan dipertanggung-jawabkan pada suatu negara yang batas-batasnya sudah pasti (diakui oleh kedua negara yang berbatasan dan untuk laut lepas sesuai dengan UNCLOS 1982) dan telah dilaporkan/didepositkan di PBB untuk mendapatkan pengakuan Internasional. Semakin merebaknya gangguan dan ancaman di perairan nusantara akhir-akhir ini, semakin dirasakan pentingnya penentuan (penegasan) batas-batas laut. Upaya penegasan dan pengabsahan batas laut, kiranya harus menjadi tantangan dan perhatian segenap stake holder kelautan. Oleh karenanya harus masuk prioritas agenda pembangunan dimasa mendatang.

2)Indonesia belum bisa mengelola dengan baik keberadaan pulau-pulau kecil termasuk karang-karang yang ada pada terluar wilayah Indonesia. Selain sebagai bukti kuat batas wilayah negara, pulau-pulau dan karang-karang tersebut juga mempunyai prospek yang menjanjikan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Oleh sebab itu perlu adanya sinergi antar departemen dan instansi terkait dalam pengelolaan pulau-pulau dan karang terluar Indonesia melalui promosi pariwisata, program transmigrasi, pembangunan pusat ekonomi baru.

3)Selama ini program perpindahan penduduk dari Jawa, Madura dan Bali biasanya menuju pulau-pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi) dan berorientasi ke arah pertanian. Kenapa pola ini tidak dikombinasi dengan perpindahan penduduk ke pulau-pulau kecil terluar Indonesia? Dengan demikian, pemerataan distribusi penduduk Indonesia secara geografis tetap tercapai, bahkan tercapainya tujuan lain seperti pertahanan dan keamanan. Aktivitas penduduknya pun tidak hanya berorientasi pada pertanian saja tetapi juga perikanan. Dengan adanya penduduk di pulau-pulau terluar tersebut maka tidak mungkin akan muncul pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang memberikan dampak terhadap perekonomian nasional.

Dengan berbagai kebijakan kelautan yang ditempuh ini, diharapkan adanya pembangunan kelautan yang sinergis dan terarah serta menyeluruh, sehingga tidak mustahil dengan pemanfaatan kekayan laut yang optimal akan menumbuhkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia menuju Indonesia yang adil, makmur, dan mandiri. Semoga!


Oleh : Allay F. Ali
Komunitas Bangkit Bahariku

Rabu, 01 April 2009

Perlukah Kampanye Terbuka?

Hari masih siang. Sang mentari sedang menunjukkan keperkasaan panas teriknya yang berada tepat diatas kepala. Panasnya terasa menembus hingga ke ubun-ubun. Tak seperti biasanya sesiang ini Dadi sudah siap-siap mau meninggalkan pangkalan ojeknya. Biasanya ia baru balik ke rumah pada saat menjelang maghrib. Tapi kali ini ia lebih awal menyelesaikan tugasnya mencari nafkah sebagai tukang ojek. Hanya saja sebelum beranjak pergi, ia berpenampilan agak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Jaket hitam lusuhnya yang biasa dengan setia menemani tidak dikenakan. Malahan ia mengenakan kaos oblong bergambar salah satu partai peserta pemilu. Didahinya dililitkan ikat kepala dengan gambar yang serupa.

“Woi mau ngapain lo gini hari udah cabut, mau ikut kampanye emangnye?” tegur Adul rekannya sesama tukang ojek satu pangkalan.
“Iye, cari sampingan. Lumayan buat tambahan dapur. Mau ikut kagak?”
“Lha emang ada bayarannye?” timpal Si Otoy rekan lainnya yang tertarik ikut nimbrung..
“Ada tuh gocap. Daripada ngejogrok disini belum tentu dapet.”
“Wah boleh juga tuh. Emangnye ngumpul dimane?”
“Kumpulnye di rumah Pak Danny yang jadi caleg ‘ntu. Dari sono kita berangkat konvoi bareng-bareng ke lapangan di Larangan.”
“Wah kalo gitu kita ikut rame-rame aje. Kaos mana?” ajak Adul sambil diikuti anggukan rekan-rekan seluruh tukang ojek di pangkalan itu
“Ntar disono dapet. Yang penting kesono aja dulu.” jawab Dadi perlahan mulai mengendarai motornya. “Hari ini di Larangan. Besok ada juga dari partai lain di Karang Tengah, besoknya lagi di daerah Parung Serab. Pokoknya asal ikut kampanye aja, yang penting ada duitnye!”
“Akuuurrr...!” timpal seluruh anggota genk ojeknya secara serempak.

Bagi sebagian orang-orang seperti Dadi dan rekannya memang masa kampanye merupakan keuntungan tersendiri untuk mendapatkan rizki tambahan. Banyak partai yang memanfaatkannya untuk memeriahkan kampanye. Partai tidak peduli apakah massa yang ikut memang kader partai atau sekedar ikut-ikutan. Yang penting pada kampanye yang diselenggarakan terlihat ramai dan meriah. Para pengurus partai cuma mau mencari ‘image’ bahwa kampanye partainya selalu diikuti oleh banyak orang. Yang, dengan logika sederhananya, dengan begitu akan terlihat bahwa partai tersebut didukung oleh banyak orang. Dan ujung-ujungnya, dengan begitu berharap dapat mempengaruhi orang untuk memilih partai tersebut.

Disisi lain, Dadi dan rekannya tidak lagi melihat partai apa dan siapa yang sedang berkampanye selama itu mendapatkan bayaran maka ia akan ikut berkampanye. Pikir mereka dibandingkan menunggu sewa ojek yang belum tentu ada, lebih baik mereka ikut ‘kampanye bayaran’. Hanya merelakan waktu 2-3 jam mereka sudah pegang lima puluh ribu. Nilai yang lumayan tinggi bagi mereka bila dibandingkan sewa ojeg dalam satu hari. Pada saat hari pencoblosan... eh pencontrengan tiba, untuk memilih partai yang mereka ikuti kampanyenya... nanti dulu.

Kampanye sudah bukan lagi dijadikan sebagai wadah untuk memaparkan visi dan misi partai kepada rakyat. Kampanye tidak lagi dijadikan untuk melihat kualitas sang caleg yang sedang berorasi. Kini kampanye hanya dilihat sebagai sarana hiburan semata. Sekedar hura-hura. Coba saja lihat, kampanye akan terlihat ramai dan semarak ketika yang hadir penyanyi-penyanyi dangdut, terlebih bila disertakan dengan goyangan yang seronok. Kampanye yang melibatkan jurkamnya dari kalangan selebritis dijamin pasti dipadati massa. Selepas itu, ketika sang caleg hendak memaparkan program-programnya diatas panggung, perhatikan... satu persatu massa mulai meninggalkan lokasi. Massa merasa menganggap tidak penting untuk mendengarkan apa yang disampaikan sang caleg.

Kalau sudah seperti ini, masih perlukah sebuah kampanye terbuka...?? Bagaimanakah dengan kualitas caleg-caleg tersebut...?? Silahkan renungi.

Kamis, 05 Maret 2009

Rakyat Tetap Yang Menjadi Korban

Siang ini terasa sangat terik. Panasnya seperti menembus hingga pori-pori kulitku. Kalau tidak ada kerjaan mungkin aku pilih tetap dirumah, santai-santai sambil menghirup dinginnya es kelapa. Segerrr...

Tapi, sepertinya terik matahari sama sekali tidak dirasakan bocah-bocah yang sedang asyik mengamen di perempatan lampu merah pasar palmerah ini. Satu persatu dengan semangat, bocah itu menghampiri mobil dan motor yang sedang berhenti. Dengan modal gitar kecil dan suara yang pas-pasan, mereka menyuguhkan lagu-lagu yang sedang trend sambil menunggu belas kasih para pengendara untuk berbagi rizkinya.

Disisi lain, ada sekumpulan anak-anak yang usia sekitar 7 hingga 9 tahun sedang asyiknya bercanda sambil tertawa lepas tanpa menghiraukan bahayanya hilir mudik lalu lintas. Bahkan tepat dibawah tiang lampu merah, bila dikira-kira anak sekitar 3 tahun, dengan tubuh yang agak dekil begitu asyiknya menikmati es lilin. Dikepala saya terlintas, dimanakah para orangtuanya? Sedang apakah mereka? Mungkinkan mereka tahu apa yang dilakukan anak-anaknya ini? Atau memang mereka pura-pura tidak tahu, atau bahkan dengan sadar menyuruh mereka untuk melakukan hal seperti ini?

Ketika sedang asyik mengamati bocah-bocah jalanan itu, kesadaranku tersentak.
“Permisi Pak?” tiba-tiba suara lantang seorang bocah tepat berada disampingku. Dalam keadaan masih kaget, aku tetap mendengarkan suguhan lagu dari bocah itu. Dengan nada yang memang tidak bisa disamakan dengan “Idola Cilik” tapi kulihat kesungguhannya bernyanyi. Rela berpanas-panas demi mendapatkan keikhlasan dariku.

“Kok nggak sekolah?” tanyaku sambil mengulurkan uang seribuan ke arah bocah itu.
“Udah pulang. Sekolahnya masup pagi?”
“Bapak tahu kamu ngamen disini?”
“Tahu, malah bapak yang suruh.”
“Kenapa emangnya?”
“Katanya buat bantuin bapak bayar sekolah. Soalnya udah dua bulan bapak gak kerja.”

Miris ku mendengarnya. Anak sekecil itu harus menanggung beban untuk hidupnya, gara-gara bapaknya sudah tidak kerja lagi. Mereka mengorbankan masa kecilnya demi kebutuhan hidup keluarganya.

Sudah seharusnya.... semestinya... wajib... negara menanggung kondisi seperti ini. Ditengah klaim-klaim pemerintah terhadap keberhasilan pembangunannya, ternyata terpaan krisis global masih dirasakan masyarakat kita. Terutama rakya miskin kota. Para kaum kapitalis dengan sekuat tenaga mengamankan assetnya dengan mengorbankan para buruhnya. Daripada mengurangi biaya-biaya lain, mereka lebih memilih untuk mem-PHK buruh dalam upaya keluar dari masalah keuangan perusahaannya. Sementara pemerintah tidak banyak membantu rakyat yang menjadi korban tersebut.

Sepertinya surplus yang didapat dari BBM akibat harga minyak turun tidak berarti apa-apa bagi rakyat. Harusnya anggaran negara, sudah saatnya untuk lebih diarahkan kepada kepentingan rakyat miskin. Bukan hanya untuk pembangunan yang bersifat bombastis. Pembangunan secara fisik yang terlihat megah dan mewah, tidak akan berarti apa-apa kalau ternyata sebagian besar rakyatnya masih terjebak dalam kubangan kemiskinan.

Mari Kawan-kawan... kita dorong pemerintah untuk menjalankan pembangunan pro rakyat. Sehingga rakyat sebagai pemilik saham terbesar negeri ini merasakan kesejahteraannya.

Selasa, 03 Februari 2009

Life is like a puzzle...

Hampir setiap malam anak sulungku Faiz, gemar sekali memainkan Puzzle. Sebuah permainan menyusun gambar dari potongan-potongan gambar yang terpisah. Memang sang pembuat permainan puzzle tersebut awalnya sudah menyusunnya sehingga terlihat gambar yang lengkap. Namun ketika diuraikan kembali, yang ada hanyalah potongan-potongan gambar yang tak jelas maknanya.

Kemudian dari potongan gambar yang tak beraturan itu, satu persatu harus disusun kembali secara rapi dengan penuh ketelitian dan keuletan sehingga akan terlihat gambar seperti semula. Seusia Faiz memang membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyusunnya menjadi sebuah gambar yang lengkap dan sempurna. Walaupun terlihat raut muka yang memperlihatkan kesulitan, namun dengan semangat yang gigih dan kesabaran, ia mampu untuk menyusunnya. Ketika melihat hasil yang didapatnya, kini rona wajahnya menampakkan kegembiraan yang luar biasa dan senyuman puas.

Tak kusangka, permainan anak sulungku itu menjadi sebuah insipirasi dalam menjalani hidup dan kehidupanku ini. Puzzle bagaikan sebuah miniatur kehidupan. Dari sebuah mozaik-mozaik yang berserakan, kita dituntut untuk menyusunnya. Memang tidak mudah untuk menyusunnya. Kita tidak pernah tahu kapan dan dari mana mozaik kehidupan itu hadir. Dan kitapun awalnya tidak akan mengerti harus bagaimana dan untuk apa ketika satu mozaik kehidupan itu berada dihadapan kita. Tetapi pada akhirnya dengan ketelitian, keuletan, kerja keras, dan kesabaran, kita akan mampu menyusunnya guna menggapai sebuah asa yang kita inginkan.

Berangkat dari sanalah blog ini kuhadirkan. Mozaik-mozaik kehidupan yang pernah hadir kucoba untuk kutulis ulang dalam blog ini. Selain sebagai sebuah kenangan, mungkin dapat menjadi bahan evaluasi dan pelajaranku dalam menjalani kehidupanku di masa mendatang. Bila telah terkumpul dengan lengkap mozaik kehidupanku, akupun dapat melihat hasilnya. Dan ku harap akupun bisa tersenyum bahagia seperti halnya Faiz... anakku.

Jumat, 30 Januari 2009

Kaum kecil korban kesewenangan

Minggu pagi dihari ini terasa sangat cerah. Sang mentari masih enggan menampakkan seluruh cahayanya. Terpaan angin yang mengusap wajahku masih terasa sejuk. Lalu lintas di jalan ciledug raya ini juga masih terasa lenggang tidak seperti hari-hari biasanya yang tampak padat dan bising sehingga menambah nyaman jalan-jalan pagiku bersama istri dan anak sulungku Faiz.

Sudah seperti menjadi kebiasaan aku dan keluarga, walaupun tidak sering, bila selepas olah raga pagi kami menyempatkan diri jalan-jalan sejenak berkeliling diantara para pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di sepanjang jalan ini. Kami melihat-lihat barang dagangan yang dijajakan, kali-kali ada barang yang kami butuhkan. Tak terkecuali dengan Faiz, dia senang berjalan mengitari para pedagang ini karena memang banyak sekali mainan-mainan yang dijajakan disini. Kalau sudah begini, pasti saja Faiz merengek untuk dibelikan mainan yang disukainya. Toh, karena memang harga mainannya tidak mahal-mahal kadang kami pun memenuhi permintaannya.

Tapi pagi ini terasa lain. Jalan yang sudah tampak lenggang dari hilir mudik kendaraan, menjadi bertambah lenggang. Karena kali ini tidak terlihat seperti biasanya para pedagang kaki lima yang berjualan. Sepanjang jalan terlihat sepi dan bersih dari pedagang kaki lima. Kami heran, sambil bertanya-tanya ada apa ini. Apakah hari ini hari besar keagamaan? Sehingga mereka pada libur. Tapi nyatanya hari ini, hari Minggu seperti biasa. Atau mungkin ada pejabat pemerintah yang akan melalui jalan ini sehingga harus dibersihkan jangan sampai mengganggu ‘kenyamanan’ perjalanan pejabat. Karena memang di beberapa tempat bila ada pejabat yang akan melalui suatu jalan, demi menghindari kemacetan atau menghilangkan kesan kumuh di mata pejabat, pemda terkait pasti rela melakukan tindakan ‘penertiban sesaat’ meskipun besok-besoknya dibiarkan kembali seperti semula. Tidak peduli macetnya seperti apa dan kumuhnya seperti apa...

Akupun penasaran, kemudian kuhampiri sekumpulan tukang ojek yang biasa ngetem disisi jalan. “Bang kok sepi gak ada yang jualan? Pada kemana?”
“Pada digusurin, Pak. Kemarin ada penertipan.” sahut tukang ojek yang kutanyai dengan logat betawinya.
“Ada apa emangnya Bang?”
“Denger-denger sih katenya pedagang-pedagang disini biangnya kemacetan. Jadi semuanye pada digusurin biar jalan tambah lebar dan nggak bikin macet.”
“Oh gitu.”
“Gak tahu tuh, kenape orang kecil cari makan aja diusik-usik.”
“Terus pada pada pindah kemana?
“Nggak tahu deh. Rata-rata belon pada dagang lagi. Semuanye nggak tahu mau jualan kemane.”
“Hmm, gitu ya Bang. Makasih deh Bang!” ujarku yang cuma bisa bilang oh gitu - oh gitu doang sambil pamitan meninggalkan kumpulan tukang ojek.

Dipikiranku memang terlintas mengiyakan kalau jalan ini menjadi terasa lebih lancar dan bertambah lebar jalannya karena sudah tidak ada lagi pedagang kaki lima yang biasa berdagang di sisi jalan ini. Tapi kenapa se ‘instan’ ini solusi yang diambil. Bagaimana nasib dari para pedagang tersebut? Kalau memang tempat ini dilarang untuk berjualan, kenapa baru sekarang ditertibkan? Bukannya dari awal-awal dilarangnya? Dan kenapa sempat betahan cukup lama?

“Kasihan para pedagang itu.” gumamku dalam hati sambil menggelengkan kepala. Kuajak istriku dan Faiz untuk segera pulang. Kami pun berbalik arah untuk menuju perjalanan pulang. Selintas kulihat mimik muka Faiz yang tetap menatap sisi jalan yang kosong dan sepi dari jajaan pedagang kaki lima.
“Kok nggak ada yang jual main-mainannya, Yah?” ujar Faiz mencoba mencari jawaban dari kebingungannya.
“Iya, soalnya udah gak boleh lagi jual mainan disini.” ujarku memberikan jawaban kepada Faiz.
“Emangnya kenapa, Yah?’
“Iya, inikan jalanan banyak mobil, ntar kalo ketabrak gimana? Makanya udah nggak boleh jualan disini lagi.” jawabku coba memberi pengertian ke Faiz.
“Ntar, aku nggak bisa beli mainan lagi dong?”
“Nanti belinya nggak disini, ditempat lain aja ya.”
“Kok kemaren boleh jualan, Yah?”

Mendengar pertanyaan seperti itu, aku jadi bingung menjawabnya. Dalam hatiku, anak seusia Faiz saja bisa mempertanyakan kondisi seperti itu. Terus bagaimana dengan pihak aparat terkait, apakah ada pikiran yang sama?
“Kemarinkan belum banyak mobil, jadi jalannya masih sepi, terus nggak bisa ketabrak mobil deh.” jawabku sekenanya.

Selama perjalanan aku tetap tidak habis pikir kenapa Pemda setempat mengambil tindakan seperti itu. Kebijakan yang selalu sangat kapitalistik. Setiap masalah yang ada selalu saja yang pertama dikorbankan adalah rakyat kecil. Memang benar, dari kondisi diatas para pedagang kaki lima salah satu penyumbang penyebab kemacetan. Tetapi tidak bisa pemerintah mengambil kebijakan secepat itu. Mestinya ada jalan lain yang masih bisa diterapkan.

Coba ditelusuri terlebih dahulu kenapa para pedagang-pedagang tersebut bisa menetap berdagang di sisi jalan. Bahkan bisa bertahan hingga puluhan tahun. Kalau memang tidak ada yang mengijinkan mana mungkin bisa bertahan. Belum lagi adanya iuran siluman tiap bulan yang dibebankan para pedagang oleh oknum pemda makanya para pedagang bisa bertahan cukup lama. Bukankah dengan menertibkan aparat-aparat yang nakal terlebih dahulu dapat mengurangi atau setidaknya dapat tidak menambah banyak pedagang-pedagang baru.

Kemudian bagaimana dengan pusat-pusat perbelanjaan yang ada disekitarnya itu. Selain dengan ketentuan dilarangnya pembangunan pusat perbelanjaan dari radius tertentu dengan pasar tradisional, juga harus diperhatikan arus keluar masuk kendaraan pengunjung yang juga merupakan penyumbang kemacetan. Dan kalau ternyata tak kuasa menahan kehadiran pusat perbelanjaan dari godaan investor maka harus dipaksakan bahwa pembangunan pusat perbelanjaan tersebut harus mampu melibatkan pedagang kaki lima disekitarnya. Kalau memang biaya sewa tidak memberatkan, mereka pasti dengan senang hati berdagang didalam pusat perbelanjaan tersebut, bukannya di sisi-sisi jalan.

Susah memang mengharapkan kepemerintahan yang mampu mengedapankan kesejahteraan rakyat, kalau sebuah kebijakan yang diterapkan lebih menitikberatkan kepada pro pasar. Bagaimana mungkin rakyat bisa hidup lebih sejahtera kalau cara pandang dalam mengambil kebijakan selalu menggunakan kaca mata ‘pemodal’.

Satu potongan puzzle kehidupan kembali kudapatkan. Semoga puzzle ini bisa menambah kesempuranaan kerangka kehidupanku, semoga...