Kamis, 05 Maret 2009

Rakyat Tetap Yang Menjadi Korban

Siang ini terasa sangat terik. Panasnya seperti menembus hingga pori-pori kulitku. Kalau tidak ada kerjaan mungkin aku pilih tetap dirumah, santai-santai sambil menghirup dinginnya es kelapa. Segerrr...

Tapi, sepertinya terik matahari sama sekali tidak dirasakan bocah-bocah yang sedang asyik mengamen di perempatan lampu merah pasar palmerah ini. Satu persatu dengan semangat, bocah itu menghampiri mobil dan motor yang sedang berhenti. Dengan modal gitar kecil dan suara yang pas-pasan, mereka menyuguhkan lagu-lagu yang sedang trend sambil menunggu belas kasih para pengendara untuk berbagi rizkinya.

Disisi lain, ada sekumpulan anak-anak yang usia sekitar 7 hingga 9 tahun sedang asyiknya bercanda sambil tertawa lepas tanpa menghiraukan bahayanya hilir mudik lalu lintas. Bahkan tepat dibawah tiang lampu merah, bila dikira-kira anak sekitar 3 tahun, dengan tubuh yang agak dekil begitu asyiknya menikmati es lilin. Dikepala saya terlintas, dimanakah para orangtuanya? Sedang apakah mereka? Mungkinkan mereka tahu apa yang dilakukan anak-anaknya ini? Atau memang mereka pura-pura tidak tahu, atau bahkan dengan sadar menyuruh mereka untuk melakukan hal seperti ini?

Ketika sedang asyik mengamati bocah-bocah jalanan itu, kesadaranku tersentak.
“Permisi Pak?” tiba-tiba suara lantang seorang bocah tepat berada disampingku. Dalam keadaan masih kaget, aku tetap mendengarkan suguhan lagu dari bocah itu. Dengan nada yang memang tidak bisa disamakan dengan “Idola Cilik” tapi kulihat kesungguhannya bernyanyi. Rela berpanas-panas demi mendapatkan keikhlasan dariku.

“Kok nggak sekolah?” tanyaku sambil mengulurkan uang seribuan ke arah bocah itu.
“Udah pulang. Sekolahnya masup pagi?”
“Bapak tahu kamu ngamen disini?”
“Tahu, malah bapak yang suruh.”
“Kenapa emangnya?”
“Katanya buat bantuin bapak bayar sekolah. Soalnya udah dua bulan bapak gak kerja.”

Miris ku mendengarnya. Anak sekecil itu harus menanggung beban untuk hidupnya, gara-gara bapaknya sudah tidak kerja lagi. Mereka mengorbankan masa kecilnya demi kebutuhan hidup keluarganya.

Sudah seharusnya.... semestinya... wajib... negara menanggung kondisi seperti ini. Ditengah klaim-klaim pemerintah terhadap keberhasilan pembangunannya, ternyata terpaan krisis global masih dirasakan masyarakat kita. Terutama rakya miskin kota. Para kaum kapitalis dengan sekuat tenaga mengamankan assetnya dengan mengorbankan para buruhnya. Daripada mengurangi biaya-biaya lain, mereka lebih memilih untuk mem-PHK buruh dalam upaya keluar dari masalah keuangan perusahaannya. Sementara pemerintah tidak banyak membantu rakyat yang menjadi korban tersebut.

Sepertinya surplus yang didapat dari BBM akibat harga minyak turun tidak berarti apa-apa bagi rakyat. Harusnya anggaran negara, sudah saatnya untuk lebih diarahkan kepada kepentingan rakyat miskin. Bukan hanya untuk pembangunan yang bersifat bombastis. Pembangunan secara fisik yang terlihat megah dan mewah, tidak akan berarti apa-apa kalau ternyata sebagian besar rakyatnya masih terjebak dalam kubangan kemiskinan.

Mari Kawan-kawan... kita dorong pemerintah untuk menjalankan pembangunan pro rakyat. Sehingga rakyat sebagai pemilik saham terbesar negeri ini merasakan kesejahteraannya.