Jumat, 30 Januari 2009

Kaum kecil korban kesewenangan

Minggu pagi dihari ini terasa sangat cerah. Sang mentari masih enggan menampakkan seluruh cahayanya. Terpaan angin yang mengusap wajahku masih terasa sejuk. Lalu lintas di jalan ciledug raya ini juga masih terasa lenggang tidak seperti hari-hari biasanya yang tampak padat dan bising sehingga menambah nyaman jalan-jalan pagiku bersama istri dan anak sulungku Faiz.

Sudah seperti menjadi kebiasaan aku dan keluarga, walaupun tidak sering, bila selepas olah raga pagi kami menyempatkan diri jalan-jalan sejenak berkeliling diantara para pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di sepanjang jalan ini. Kami melihat-lihat barang dagangan yang dijajakan, kali-kali ada barang yang kami butuhkan. Tak terkecuali dengan Faiz, dia senang berjalan mengitari para pedagang ini karena memang banyak sekali mainan-mainan yang dijajakan disini. Kalau sudah begini, pasti saja Faiz merengek untuk dibelikan mainan yang disukainya. Toh, karena memang harga mainannya tidak mahal-mahal kadang kami pun memenuhi permintaannya.

Tapi pagi ini terasa lain. Jalan yang sudah tampak lenggang dari hilir mudik kendaraan, menjadi bertambah lenggang. Karena kali ini tidak terlihat seperti biasanya para pedagang kaki lima yang berjualan. Sepanjang jalan terlihat sepi dan bersih dari pedagang kaki lima. Kami heran, sambil bertanya-tanya ada apa ini. Apakah hari ini hari besar keagamaan? Sehingga mereka pada libur. Tapi nyatanya hari ini, hari Minggu seperti biasa. Atau mungkin ada pejabat pemerintah yang akan melalui jalan ini sehingga harus dibersihkan jangan sampai mengganggu ‘kenyamanan’ perjalanan pejabat. Karena memang di beberapa tempat bila ada pejabat yang akan melalui suatu jalan, demi menghindari kemacetan atau menghilangkan kesan kumuh di mata pejabat, pemda terkait pasti rela melakukan tindakan ‘penertiban sesaat’ meskipun besok-besoknya dibiarkan kembali seperti semula. Tidak peduli macetnya seperti apa dan kumuhnya seperti apa...

Akupun penasaran, kemudian kuhampiri sekumpulan tukang ojek yang biasa ngetem disisi jalan. “Bang kok sepi gak ada yang jualan? Pada kemana?”
“Pada digusurin, Pak. Kemarin ada penertipan.” sahut tukang ojek yang kutanyai dengan logat betawinya.
“Ada apa emangnya Bang?”
“Denger-denger sih katenya pedagang-pedagang disini biangnya kemacetan. Jadi semuanye pada digusurin biar jalan tambah lebar dan nggak bikin macet.”
“Oh gitu.”
“Gak tahu tuh, kenape orang kecil cari makan aja diusik-usik.”
“Terus pada pada pindah kemana?
“Nggak tahu deh. Rata-rata belon pada dagang lagi. Semuanye nggak tahu mau jualan kemane.”
“Hmm, gitu ya Bang. Makasih deh Bang!” ujarku yang cuma bisa bilang oh gitu - oh gitu doang sambil pamitan meninggalkan kumpulan tukang ojek.

Dipikiranku memang terlintas mengiyakan kalau jalan ini menjadi terasa lebih lancar dan bertambah lebar jalannya karena sudah tidak ada lagi pedagang kaki lima yang biasa berdagang di sisi jalan ini. Tapi kenapa se ‘instan’ ini solusi yang diambil. Bagaimana nasib dari para pedagang tersebut? Kalau memang tempat ini dilarang untuk berjualan, kenapa baru sekarang ditertibkan? Bukannya dari awal-awal dilarangnya? Dan kenapa sempat betahan cukup lama?

“Kasihan para pedagang itu.” gumamku dalam hati sambil menggelengkan kepala. Kuajak istriku dan Faiz untuk segera pulang. Kami pun berbalik arah untuk menuju perjalanan pulang. Selintas kulihat mimik muka Faiz yang tetap menatap sisi jalan yang kosong dan sepi dari jajaan pedagang kaki lima.
“Kok nggak ada yang jual main-mainannya, Yah?” ujar Faiz mencoba mencari jawaban dari kebingungannya.
“Iya, soalnya udah gak boleh lagi jual mainan disini.” ujarku memberikan jawaban kepada Faiz.
“Emangnya kenapa, Yah?’
“Iya, inikan jalanan banyak mobil, ntar kalo ketabrak gimana? Makanya udah nggak boleh jualan disini lagi.” jawabku coba memberi pengertian ke Faiz.
“Ntar, aku nggak bisa beli mainan lagi dong?”
“Nanti belinya nggak disini, ditempat lain aja ya.”
“Kok kemaren boleh jualan, Yah?”

Mendengar pertanyaan seperti itu, aku jadi bingung menjawabnya. Dalam hatiku, anak seusia Faiz saja bisa mempertanyakan kondisi seperti itu. Terus bagaimana dengan pihak aparat terkait, apakah ada pikiran yang sama?
“Kemarinkan belum banyak mobil, jadi jalannya masih sepi, terus nggak bisa ketabrak mobil deh.” jawabku sekenanya.

Selama perjalanan aku tetap tidak habis pikir kenapa Pemda setempat mengambil tindakan seperti itu. Kebijakan yang selalu sangat kapitalistik. Setiap masalah yang ada selalu saja yang pertama dikorbankan adalah rakyat kecil. Memang benar, dari kondisi diatas para pedagang kaki lima salah satu penyumbang penyebab kemacetan. Tetapi tidak bisa pemerintah mengambil kebijakan secepat itu. Mestinya ada jalan lain yang masih bisa diterapkan.

Coba ditelusuri terlebih dahulu kenapa para pedagang-pedagang tersebut bisa menetap berdagang di sisi jalan. Bahkan bisa bertahan hingga puluhan tahun. Kalau memang tidak ada yang mengijinkan mana mungkin bisa bertahan. Belum lagi adanya iuran siluman tiap bulan yang dibebankan para pedagang oleh oknum pemda makanya para pedagang bisa bertahan cukup lama. Bukankah dengan menertibkan aparat-aparat yang nakal terlebih dahulu dapat mengurangi atau setidaknya dapat tidak menambah banyak pedagang-pedagang baru.

Kemudian bagaimana dengan pusat-pusat perbelanjaan yang ada disekitarnya itu. Selain dengan ketentuan dilarangnya pembangunan pusat perbelanjaan dari radius tertentu dengan pasar tradisional, juga harus diperhatikan arus keluar masuk kendaraan pengunjung yang juga merupakan penyumbang kemacetan. Dan kalau ternyata tak kuasa menahan kehadiran pusat perbelanjaan dari godaan investor maka harus dipaksakan bahwa pembangunan pusat perbelanjaan tersebut harus mampu melibatkan pedagang kaki lima disekitarnya. Kalau memang biaya sewa tidak memberatkan, mereka pasti dengan senang hati berdagang didalam pusat perbelanjaan tersebut, bukannya di sisi-sisi jalan.

Susah memang mengharapkan kepemerintahan yang mampu mengedapankan kesejahteraan rakyat, kalau sebuah kebijakan yang diterapkan lebih menitikberatkan kepada pro pasar. Bagaimana mungkin rakyat bisa hidup lebih sejahtera kalau cara pandang dalam mengambil kebijakan selalu menggunakan kaca mata ‘pemodal’.

Satu potongan puzzle kehidupan kembali kudapatkan. Semoga puzzle ini bisa menambah kesempuranaan kerangka kehidupanku, semoga...