Rabu, 01 April 2009

Perlukah Kampanye Terbuka?

Hari masih siang. Sang mentari sedang menunjukkan keperkasaan panas teriknya yang berada tepat diatas kepala. Panasnya terasa menembus hingga ke ubun-ubun. Tak seperti biasanya sesiang ini Dadi sudah siap-siap mau meninggalkan pangkalan ojeknya. Biasanya ia baru balik ke rumah pada saat menjelang maghrib. Tapi kali ini ia lebih awal menyelesaikan tugasnya mencari nafkah sebagai tukang ojek. Hanya saja sebelum beranjak pergi, ia berpenampilan agak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Jaket hitam lusuhnya yang biasa dengan setia menemani tidak dikenakan. Malahan ia mengenakan kaos oblong bergambar salah satu partai peserta pemilu. Didahinya dililitkan ikat kepala dengan gambar yang serupa.

“Woi mau ngapain lo gini hari udah cabut, mau ikut kampanye emangnye?” tegur Adul rekannya sesama tukang ojek satu pangkalan.
“Iye, cari sampingan. Lumayan buat tambahan dapur. Mau ikut kagak?”
“Lha emang ada bayarannye?” timpal Si Otoy rekan lainnya yang tertarik ikut nimbrung..
“Ada tuh gocap. Daripada ngejogrok disini belum tentu dapet.”
“Wah boleh juga tuh. Emangnye ngumpul dimane?”
“Kumpulnye di rumah Pak Danny yang jadi caleg ‘ntu. Dari sono kita berangkat konvoi bareng-bareng ke lapangan di Larangan.”
“Wah kalo gitu kita ikut rame-rame aje. Kaos mana?” ajak Adul sambil diikuti anggukan rekan-rekan seluruh tukang ojek di pangkalan itu
“Ntar disono dapet. Yang penting kesono aja dulu.” jawab Dadi perlahan mulai mengendarai motornya. “Hari ini di Larangan. Besok ada juga dari partai lain di Karang Tengah, besoknya lagi di daerah Parung Serab. Pokoknya asal ikut kampanye aja, yang penting ada duitnye!”
“Akuuurrr...!” timpal seluruh anggota genk ojeknya secara serempak.

Bagi sebagian orang-orang seperti Dadi dan rekannya memang masa kampanye merupakan keuntungan tersendiri untuk mendapatkan rizki tambahan. Banyak partai yang memanfaatkannya untuk memeriahkan kampanye. Partai tidak peduli apakah massa yang ikut memang kader partai atau sekedar ikut-ikutan. Yang penting pada kampanye yang diselenggarakan terlihat ramai dan meriah. Para pengurus partai cuma mau mencari ‘image’ bahwa kampanye partainya selalu diikuti oleh banyak orang. Yang, dengan logika sederhananya, dengan begitu akan terlihat bahwa partai tersebut didukung oleh banyak orang. Dan ujung-ujungnya, dengan begitu berharap dapat mempengaruhi orang untuk memilih partai tersebut.

Disisi lain, Dadi dan rekannya tidak lagi melihat partai apa dan siapa yang sedang berkampanye selama itu mendapatkan bayaran maka ia akan ikut berkampanye. Pikir mereka dibandingkan menunggu sewa ojek yang belum tentu ada, lebih baik mereka ikut ‘kampanye bayaran’. Hanya merelakan waktu 2-3 jam mereka sudah pegang lima puluh ribu. Nilai yang lumayan tinggi bagi mereka bila dibandingkan sewa ojeg dalam satu hari. Pada saat hari pencoblosan... eh pencontrengan tiba, untuk memilih partai yang mereka ikuti kampanyenya... nanti dulu.

Kampanye sudah bukan lagi dijadikan sebagai wadah untuk memaparkan visi dan misi partai kepada rakyat. Kampanye tidak lagi dijadikan untuk melihat kualitas sang caleg yang sedang berorasi. Kini kampanye hanya dilihat sebagai sarana hiburan semata. Sekedar hura-hura. Coba saja lihat, kampanye akan terlihat ramai dan semarak ketika yang hadir penyanyi-penyanyi dangdut, terlebih bila disertakan dengan goyangan yang seronok. Kampanye yang melibatkan jurkamnya dari kalangan selebritis dijamin pasti dipadati massa. Selepas itu, ketika sang caleg hendak memaparkan program-programnya diatas panggung, perhatikan... satu persatu massa mulai meninggalkan lokasi. Massa merasa menganggap tidak penting untuk mendengarkan apa yang disampaikan sang caleg.

Kalau sudah seperti ini, masih perlukah sebuah kampanye terbuka...?? Bagaimanakah dengan kualitas caleg-caleg tersebut...?? Silahkan renungi.