Selasa, 14 Februari 2012

Perpecahan Etnis dan Suku Akan Menguntungkan Musuh-Musuh Islam

Penulis : Ferdiansyah Ali, dari Global Future Institute
(Laporan dan Ulasan dari Acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan Seminar Internasional yang diselenggarakan Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) dan Majelis Ukhuwah Suni-Syiah Indonesia (MUHSIN), Sabtu 11 Februari 2012. Kontroversi seputar pernyataan Menteri Agama Suryadarma Ali yang menafikan Umat Muslim yang bermahzab Syiah, ternyata tidak berdampak buruk sama sekali bagi keberadaan dan kiprah Ikatan Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI). Sabtu 11 Februari yang lalu, Pengurus Pusat Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (PP IJABI) bekerjasama dengan Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia (MUHSIN), menggelar acara Maulid Nabi Muhammad SAW, di Gedung SMESCO Tower, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Acara yang berlangsung dari Jam 8 pagi sampai jam 14 siang tersebut, mengundang beberapa tokoh penting dari Iran maupun korps diplomatik Kedutaan Besar Iran yang langsung dipimpin oleh Duta Besar Republik Islam Iran Dr Mahmoud Farazandeh. Sedangkan dari Iran hadir Ayatullah Maulawi Naim Abadi, Khatib dan Imam Jumat Masjid Bandar Abbas, Iran, sekaligus anggota Majelis Ahli (Dewan Penasehat) Pemimpin Spiritual Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, dan Ayatullah Dr Biazar Syirazi (Rektor Uiniversitas Taqrib Iran). Bukan itu saja. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang sekaligus digelar Seminar Internasional tersebut, selain dihadiri oleh sekitar 2300 peserta, juga menghadirkan DR Maidir Harun, mewakili Ketua Umum PBNU yang kebetulan berhalangan hadir. Daud Poliradja selaku Ketua Majelis Ukhuwah Sunni Syiah (MUHSIN). Dari kalangan pemerintahan, hadir Dr Perwira, Deputi VI Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Dr Perwira dan Dubes Republik Islam Iran DR Mahmoud Farazandeh bertindak sebagai Keynote Speaker. Sayangnya, acara yang berlangsung semarak dan penuh kekeluargaan tidak dapat dihadiri dari pihak PP. Muhammadiyah dengan alasan yang tidak jelas kepada panitia pelaksana. Selain itu, dari Global Future Institute (GFI) yang turut diundang dalam acara tersebut mengutus perwakilannya yaitu Rusman (Direktur Koorporasi) dan Ferdiansyah Ali (Manager Program). Selain memenuhi undangan tersebut, Tim GFI juga melakukan peliputan berita guna memberitakan acara tersebut dalam situsnya www.global-review.com. Lalu apa hal menarik yang berkumandang pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan Seminar Internasional tersebut? Salah satunya, tentu saja tausiah yang disampaikan yang mulia Ayatullah Maulawi Naim Abadi. “Mereka yang bermazhab syiah, ahlussunnah waljamaah, atau mazhab lainnya, perlu diperhatikan tentang pentingnya memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, karena kelahiran Nabi Muhammad SAW merupakan hal yang sangat besar, sebuah nikmat yang besar karena pada saat itu manusia agung dilahirkan. Peringatan maulid merupakaan ekspresi kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW.” Begitu ujar Ayatullah Maulawi Naim Abadi. Namun ini baru prakata awal, semacam tembakan pembuka. Selanjutnya tokoh spiritual Iran tersebut mulai mengarahkan bidikannya pada sasaran sesungguhnya. Dan ternyata benar. Beliau mengatakan, “namun sangat di sayangkan dalam umat Islam, ada kelompok kecil yang mereka menisbatkan kepada Islam, yang menganggap hal-hal yang berisi pujian-pujian, penghormatan dan pengagungan kepada nabi ini merupakan sebagai sebuah tradisi yang tidak pernah ada pada zaman nabi dan menganggap hal ini sebagai sebuah bid'ah. Sebagai sebuah hal yang baru, yang tidak di syariatkan kepada agama yang disampaikan oleh nabi.” Pada tataran ini, Ayatullah Maulawi mulai menyentuh isu strategis yang cukup menarik, bahkan bagi Indonesia yang notabene berpenduduk mayoritas Muslim. Yaitu keterkaitan antara Agama, tradisi dan adat istiadat. Dalam paparan Ayatullah Maulawi lebih lanjut, ketika Islam masuk dalam sebuah wilayah tidak dengan serta merta memberangus adat istiadat dan kebudayaan setempat. Namun Islam harus mengakulturasikan kebudayaan-kebudayaan yang ada di wilayah tersebut. Yang menjadi syarat bagi Islam adalah apakah hal tersebut bertentangan dengan tauhid atau tidak. Bila bertentangan maka Islam akan langsung melarangnya. Bila hal tersebut tidak mengandung unsur-unsur yang mencederai tauhid kepada Allah SWT maka hal tersebut diperbolehkan. Dalam pandangan penulis, pandangan Ayatullah Maulawi menarik dan sangat relevan ketika menelusur kembal sejarah penyebaran Agama Islam di bumi Nusantara, ketika para Wali berhasil mensenyawakan Islam dengan tradisi dan adat istiadat dari masing masing daerah di Indonesia. Karena itu, pandangan Ayatullah Maulawi patut diapresiasi di Indonesia karena secara tersirat berarti menafikan sebuah pandangan yang berkembang selama ini bahwa Islamisasi identik dengan Arabisasi. Bahkan Ayatullah Maulawi lebih lanjut merasa perlu mengingatkan bahwa bahaya terbesar datang dari orang-orang yang mengatakan bahwa Islam itu kaku, Islam selalu mempersulit. Sementara Islam itu sendiri datang untuk memberikan syariat yang mudah, yang nantinya dapat diterima oleh seluruh bangsa dan negara yang ada didunia. Menariknya lagi, Ayatullah Maulawi mengutip dalam buku Sayyid Quthub berjudul "Masa Depan untuk Islam" bahwa masa yang akan datang adalah merupakan masa-masa kejayaan Islam. Namun pihak-pihak yang lain berusaha untuk menghalangi pihak Islam berkembang.” Dari uraian ini, Ayatullah Maulawi mulai menyentuh isu-isu internasional terkait dengan perkembangan Islam. Khususnya terjadinya demoralisasi yang terjadi di dunia peradaban barat baik Amerika Serikat dan Eropa. “Kita bisa melihat bahwa kini Uni Soviet telah runtuh. Dan pada saat ini kita melihat dunia barat menjalani kehidupan mereka. Misalnya di Amerika sudah sebanyak 52% dari anak-anak yang lahir tidak memiliki ayah. Orang-orang Eropa dan yang lainnya di dunia ini mulai putus asa dengan sistem yang ada, sistem kapitalis. Mereka putus harapan. Oleh karena itu satu-satunya hal yang dapat menghilangkan rasa putus asa adalah Islam.” ujarnya lebih lanjut. “Oleh karena itu perpecahan etnis ataupun suku merupakan keuntungan bagi musuh-musuh Islam.” Sementara itu dalam sambutannya sebagai salah satu keynote speaker, Dubes Iran Farazandeh yang berbicara Inggris dan Indonesia, menyampaikan apresiasi yang tinggi atas pelaksanaan Maulid Nabi saw yang dilaksanakan bersama oleh para pengikut mazhab Ahlulbait dan Ahlussunnah. Persatuan Islam adalah modal yang sangat besar bagi upaya untuk membangun umat Islam, sehingga dapat berkontribusi bagi pembangunan bangsa dan kemajuan peradaban manusia. Yang tak kalah menarik adalah presentasi dari DR Maidir Harun yang dalam hal ini mewakili Ketua Umum PBNU. Menurut DR Maidir Harun, bahwa sebenarnya yang menjarakkan antara sunni dan syiah itu bukanlah masalah aqidah, akan tetapi masalah politik. Syiah dan Sunni adalah satu aqidah, satu kitab Alquranul Karim. Oleh karena itu saya sangat sepakat sekali degan apa yang ditulis oleh penulis terkenal Abu Dahra, yaitu syiah adalah salah satu mazhab yang ada dalam Islam. Lebih lanjutnya DR. Maidir Harun mengutarakan “Ketika persatuan itu terwujud, kekuasaan Islam berkembang menembus kerajaan Persia dan Romawi. Akan tetapi ketika persatuan itu pecah maka disitulah kita melihat ada problem-problem yang dihadapi umat Islam. Dan kita melihat perpecahan dan perselisihan itu lebih banyak disebabkan oleh kepentingan politik. Kepentingan yang tidak prinsip yang membuat umat islam terpecah.” Lebih jauh beliau mengatakan bahwa seperti yang diungkapkan Yusuf Qardhawi dalam sebuah bukunya menjelaskan bahwa Islam adalah peradaban besar. Ada perbedaan esensial antara peradaban islam yang memiliki nilai ritual dan sakral dengan peradaban sekuler barat yang hampa nilai ritual dan sakral. “Seluruh aspek kehidupan umat islam, apapun yang dilakukannya disamping memiliki nilai profan duniawi juga memiliki nilai sakral. Inilah keutamaan peradaban islam yang menjanjikan masa depan. Sekarang ini memang sedang mengalami krisis peradaban. Prinsip ekonomi sekuler, kapitalisme yang mereka telah laksanakan selama ini menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan ekonomi mereka.” imbuhnya. Kemudian tampil sebagai nara sumber berikut adalah Ayatullah Dr Biazar Syirazi (Rektor Uiniversitas Taqrib Iran). Dalam paparannya beliau mengutip salah seorang penulis terkenal DR. Muhammad Husein Haekal dalam bukunya "Sejarah Hidup Muhammad" menyebutkan bahwa apabila kita ingin meneladani nabi besar Muhammad SAW dalam mempersatukan umat kita harus menengok bagaimana kehidupan nabi Muhammad SAW ketika diutus. Saat itu nabi diutus di sebuah lingkungan yang sangat penuh dengan perbedaan, perselisihan dan bahkan peperangan. Bagaimana dalam sejarah, nabi dapat menyatukan kaum-kaum dan suku-suku di jazirah Arab tersebut. Hal itulah yang akan dapat menuntun kita. Adapun sumber dari segala perselisihan tersebut adalah bersumber dari hati yang tidak bersih, hasut, dimana bersumber dari segala yang bersifat syaitan. “Oleh karena itu salah satu tugas dan risalah penting nabi adalah mensucikan jiwa manusia. Karena penyucian jiwa merupakan sumber kebaikan. Kesukuan, egoisme dan hal-hal yang bersifat etnis merupakan hal yang tidak diinginkan oleh Allah SWT. Dan manusia dituntun oleh nabi Muhammad SAW untuk menjauhi hal yang bersifat kesukuan dan ras, sehingga akan mendapat petunjuk yang menuju pada Islam.” jelas beliau. Sementara itu dalam sambutan pembukanya, Dr. Perwira menjelaskan pentingnya menjaga kemajemukan bangsa dengan mengedepankan semangat keindonesiaan. Indonesia adalah negara demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat dan menunjung tinggi HAM. Dalam demokrasi yang dianut bangsa kita, semua kelompok, semua agama dan semua paham dijamin keberadaannya, sesuai perintah konstitusi. Karena itu, umat beragama dapat menjalankan keyakinannya sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku serta tidak mengganggu ketertiban umum. Acara tersebut boleh dibilang cukup berhasil dan lancar, tanpa hambatan sebagaimana sempat dikuatirkan panitia pada awalnya. Dengan dihadari hampir 2300 orang, khususnya Pengurus IJABI dari sebagian besar dari daerah yang di Pulau Jawa. Bahkan hadir juga pengurus IJABI dari Papua. Satu bukti nyata bahwa gerakan terselubung untuk memecah belah umat Islam, khususnya antara Sunni dan Syiah, praktis telah gagal total. Kemudian sebagai pembicara penutup, yang disampaikan oleh DR. KH. Jalaluddin Rakhmat (Ketua Dewan Syura IJABI) dengan mendukung apa yang telah disampaikan oleh Ayatullah Maulawi, mengutip hadist Nabi Muhammad SAW, pada saat Haji Wada’ dimana 1400 sahabat sedang berkumpul pada saat itu, kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda: “... tahukah kamu bulan apa sekarang? ini, bulan suci. Tahukah kalian hari apakah ini? Ini hari yang suci. Tahukah kalian negeri apakah ini? negeri yang suci. Ketahuilah bahwa darah, kekayaan dan kehormatan orang Islam itu sama sucinya dengan bulan ini, hari ini, dan negeri ini. Tidak boleh darah orang Islam ditumpahkan, tdk boleh kehormatan orang Islam dijatuhkan, tdk boleh harta mereka dicampakkan.... Wahai kaum muslimin, aku berpesan jaganlah kalian kafir sepeninggalku, yaitu kamu saling membunuh diantara sesama kamu. Pada saat itulah, kalau kamu sudah saling membunuh, kamu sudah kembali pd kekafiran...” Pada penghujung acara seluruh peserta, para pembicara dan kaum fakir miskin di sekitar lokasi disuguhkan panitia untuk makan bersama Nasi Tumpeng. Sebagai sebuah simbol kebersamaan dengan tetap dalam kerangka kebudayaan bangsa Indonesia. Catatan: Artikel ini dimuat juga di www.theglobal-review.com