Selasa, 05 April 2011

Hidupkan Kembali Gagasan NEFOS Bung Karno

Penulis : Ferdiansyah Ali (Program Manager Global Future Institute)
(Mengenang Pidato Bung Karno Di Sidang Umum PBB, 30 September 1960) “Lebih dari pada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar dari keduanya itu dan kami telah diilhami, oleh keduanya itu… tetapi dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi dalam dua pihak...” Langkahnya tegap. Tampak aura kepercayaan diri yang tinggi terpancar. Dengan seragam putih-putihnya yang khas. Dan kepalanya berkopiah hitam dengan dimiringkan sedikit kekiri sebagai tanda bentuk ‘perlawanan’. Bung Karno berbicara di depan Majelis Umum PBB pada tanggal 30 September 1960. Dengan nadanya yang bergetar dan mendapatkan sejumlah applaus dari para audiens, Bung Karno menawarkan gagasan briliannya, “To Build the World A New”. “Kita menginginkan satu Dunia Baru penuh dengan perdamaian den kesejahteraan, satu Dunia Baru tanpa imperialisme dan kolonialisme dan exploitation de l'homme par l'homme et de nation par nation.” Kemudian Bung Karno melanjutkannya, “….lebih dari pada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar dari keduanya itu dan kami telah diilhami, oleh keduanya itu… tetapi dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi dalam dua pihak...” Dengan retorika yang sangat cerdas, setiap pernyataan Bung Karno mendapat sambutan hangat dari negara-negara berkembang yang ketika itu hadir. Mereka menganggap pernyataan tersebut dianggap relevan mewakili sikap dan pandangannya. Bung Karno mengutarakan sebuah gagasan briliannya, dimana salah satunya adalah dengan pembagian dunia menjadi dua blok. Yaitu blok Old Established Forces (OLDEFOS) yang diartikan sebagai kekuatan lama yang masih bercokol, yang secara kasar diartikan sebagai negara imperalis dan kapitalis. Kemudian blok The New Emerging Forces (NEFOS) yang diartikan sebagai kekuatan baru yang sedang lahir, dengan menggalang kekuatan dari negara-negara berkembang yang masih memperjuangkan kemerdekaannya. Adanya dua kekuatan ketika itu, yaitu blok kapitalis yang berkubu pada Amerika Serikat, dan blok sosialis yang berkubu pada Uni Soviet, dimana equilibrium global ketika itu mau tidak mau hanya diatur antara kedua kekuatan tersebut. Mereka hanya meyakini bahwa terciptanya sebuah perdamaian dunia diukur melalui sebuah perlombaan adu senjata yang seimbang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Perimbangan dunia dalam mengamankan dunia dari ancaman instabilitas ini hanya berdasarkan dari perhitungan secara matematis. Pada akhirnya itulah yang menjadi alasan lahirnya NATO dan Pakta Warsawa. Sebenarnya gagasan Bung Karno ini sekaligus menolak analisis yang disampaikan Mao Tse Tung dengan konsep “Dunia Ketiga”. Mao membagi dunia menjadi tiga blok. Pertama blok negara-negara industri kapitalis. Kemudian kedua blok negara-negara sosialis, dan ketiga adalah blok “Dunia Ketiga”. Memang istilah “Dunia Ketiga” ini menjadi perbendaharaan kata politik dunia hingga saat ini. Akan tetapi perkembangan pergulatan politik dunia saat ini lebih akurat seperti yang digambarkan oleh Bung Karno. Semenjak runtuhnya Uni Soviet, negara-negara eks blok sosialis kini berperan sebagai pemerintahan progresif negara berkembang. Sementara Kuba dan Vietnam tidak lagi mencerminkan sebagai blok sosialis tetapi bergerak sebagai bagian perlawanan negara berkembang. Pergulatan Politik Dunia Kini Tsunami politik yang terjadi di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara begitu menyentak negara-negara Barat. Besarnya protes rakyat yang mengguncang kawasan tersebut membuat perubahan perimbangan kekuasaan. Negara Barat, yang sejatinya dikatagorikan dalam blok oldefos, mulai merasakan kekhawatiran dan kecemasannya. Dengan menggunakan berbagai cara mereka berusaha untuk tetap menancapkan pengaruhnya di kawasan ini. Bisa dilihat ketika negara barat merasa tidak lagi mampu ‘menguasai’ Khadafi, mereka menggunakan resolusi DK PBB No. 1973 untuk melakukan invasi ke Libya. Bahkan kemungkinan akan mempersenjatai kaum revolusi Libya. Kemudian pada kondisi di Bahrain, mereka memiliki sikap yang berbeda dalam menyikapi intervensi militer asing untuk menumpas aksi protes rakyat yang dilakukan secara damai. Bahkan cenderung mendiamkannya. Tindakan semau-maunya yang dilakukan oleh negara barat untuk menyelematkan kepentingannya yang berada di negara berdaulat ini bukan kali pertama. Pada September 2010, dalam serbuan yang berlangsung di Provinsi Ghazni sebelah barat daya Kabul, militer pimpinan Pakta Atlantik Utara (NATO) melancarkan serangan udaranya dalam serangan udara selama pertempuran dengan Taliban. Tak kalah ironisnya, pada tahun 2003 dengan alasan Irak memiliki senjata pemusnah massal, Amerika Serikat dan sekutunya menyerang Irak. Ratusan ribu orang tewas, rezim Saddam Hussein pun runtuh. Dunia tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada kekuatan yang mampu memainkan equilibrium global. Dunia hanya digiring oleh Amerika dan para sekutunya untuk ‘memahami’ intervensi militer yang dilakukannya di beberapa negara berdaulat. Bila hal ini terus berlanjut, maka analisis Hendrajit dalam tulisannya “Krisis Timur Tengah, Minyak dan Operasi Siluman” bahwa apa yang sedang terjadi di dunia saat ini, termasuk yang sedang bergolak di Libya dan Bahrain, merupakan operasi siluman dari hajatan kedua pengusaha minyak, yaitu konglomerat besar Rockefeller dan Rothschild, terus berjalan tanpa dapat dihentikan. Gagasan NEFOS Saatnya Di Hadirkan Dunia sudah seharusnya tidak lagi menutup mata terhadap apa yang dilakukan oleh negara-negara barat. Sudah saatnya perlu dihadirkan kekuatan penyeimbang yang mampu menjaga stabiitas perdamaian dunia. Harus ada kekuatan yang mampu menghentikan, atau paling tidak mengimbangi, dari keangkuhan negara industri kapitalis yang merupakan perwujudan dari negara-negara blok oldefos. Perlu adanya penataan ulang dunia yang lebih baik. Penataan yang jauh dari upaya-upaya penginjak-injakkan hak bangsa, penataan dunia yang lebih berprikemanusiaan. Indonesia, sebagai pelopor yang melahirkan gagasan The New Emerging Forces (NEFOS) dari putra bangsa terbaiknya, harus memulai menawarkan gagasannya. Sebagai sebuah negara besar, dengan wilayah geopilitik yang sangat strategis dan sumber daya alam yang sangat melimpah, bukan hal yang tidak mungkin dilakukan Indonesia dalam memimpin perubahan sebuah peradaban dunia yang baru. Pada tingkatan kawasan terkecil, sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, posisi Indonesia masih menjadi penentu. Indonesia, relatif bersahabat dengan semua negara. Mulai dengan Rusia, Amerika Serikat, China, Jepang, korea, India, Iran, dan negara-negara lainnya. Indonesia mampu menjadi kekuatan penyeimbang tersebut. Beberapa fakta yang tidak mungkin bisa dibantah lagi adalah, pertama, Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar ke empat di dunia. Kedua, Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ke tiga di dunia setelah India dan AS sendiri. Ketiga, Indonesia adalah negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Dan yang keempat, Indonesia adalah negara terbesar di antara sepuluh negara anggota ASEAN. Dengan ‘modal’ sebagai negara muslim terbesar, Indonesia memiliki kesempatan emas memainkan peranan penting dalam upaya mencari jalan perdamaian di kawasan Timur Tengah yang saat ini penuh dengan konflik. Bersahabatnya Indonesia dengan Amerika Serikat dan sekaligus dengan Iran, merupakan point plus dalam menjembatani sebagai mediator pada konflik kedua negara tersebut. Belum lagi pada kondisi konflik di Palestina, dimana Indonesia memiliki hubungan yang relative baik dengan kedua kubu yang sedang bertikai, yaitu kubu Fatah (yang didukung oleh Barat) dengan kubu Hamas (yang didukung oleh Iran dan Syria). Inilah saatnya Indonesia untuk berperan aktif dalam pergelutan politik internasional, tidak selalu berperan dengan gaya ‘low profile’ nya yang selama ini dijalankan. Dengan mengambil peran sebagai kekuatan keseimbangan, Indonesia bisa bergerak dari satu pijakan ke pijakan lain tanpa perlu khawatir. Justru mampu berdiri di depan dalam menciptakan keseimbangan di kawasan. Gagasan NEFOS yang disampaikan Bung Karno sangatlah tepat untuk segera diimplementasikan di era kini. Gagasannya yang visioner sangatlah akurat dalam menggambarkan kondisi politik dunia saat ini. Sekiranya Bung Karno masih hidup, bisa kita bayangkan betapa gembira hatinya karena melihat bila perjuangan revolusionernya yang telah ditekuni selama hidupnya dalam penentangan kolonialisme dan imperialisme mulai terlihat dan adanya kemajuan-kemajuan yang cukup besar. Inti dari seluruh gagasan Bung Karno secara jelas terangkum dalam pidato pembukaan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada April 1955. “Dan saya minta kepada Tuan-tuan, janganlah hendaknya melihat kolonialisme dalam bentuk klasiknya saja, seperti yang kita di Indonesia dan saudara-saudara kita di berbagai wilayah Asia-Afrika mengenalnya. Kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektuil, penguasaan materiil yang nyata, dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal di tengah-tengah rakyat… Di mana, bilamana dan bagaimanapun ia muncul, kolonialisme adalah yang jahat, yang harus dilenyapkan dari muka bumi." Begitulah. Pidato Bung Karno inilah yang menjiwai lahirnya Dasa Sila Bandung, khususnya bagian D sub I-a, yang akhirnya terumuskan dalam kalimat: “Kolonialisme dalam segala manifestasinya adalah suatu kejahatan yang harus segera diakhiri.” Catatan: Artikel juga dimuat di www.theglobal-review.com

Sabtu, 26 Maret 2011

Bung Karno Dan Perlawanan Indonesia Terhadap Imperialisme

Penulis : Ferdiansyah Ali (Program Manager Global Future Institute)
Pagi itu, Senin 18 April 1955 di Gedung Merdeka, Presiden Pertama RI Ir. Soekarno, berdiri di depan Mimbar Konferensi Asia Afrika. Dengan penampilan yang meyakinkan dan intonasi suara yang gegap gempita berbicara tentang jahatnya kolonialisme … “Colonialism has also its modern dress, in the form of economic control, intellectual control, actual physical control by a small but alien community within a nation. It is a skilful and determined enemy, and it appears in many guises. Look, the peoples of Asia raised their voices, and the world listened”. Dan pada penutup pidatonya Bung Karno menyampaikan: "I hope that it will give evidence of the fact that we, Asian and African leaders, understand that Asia and Africa can prosper only when they are united, and that even the safety of the world at large can not be safeguarded without a united Asia-Africa. I hope that it conference will give guidance to mankind, will point out to mankind the way which it must take to attain safety and peace. I hope that it will give evidence that Asia and Africa have been reborn, that a New Asia and New Africa have been born !" Pidato Bung Karno ini berhasil menarik perhatian, mempesona, dan mempengaruhi hadirin, terbukti dengan adanya usul Perdana Menteri India, ketika itu Jawaharlal Nehru, yang didukung oleh ke dua puluh empat peserta konferensi untuk mengirimkan pesan ucapan terimakasih kepada presiden atas pidato pembukaannya. Pada pidato tersebut tercermin sebuah ketegasan sikap Bung Karno terhadap penentangan kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan terhadap negara-negara Asia dan Afrika. Ketegasan sikap Bung Karno memperjelas posisi Indonesia di mata negara-negara Asia dan Afrika. Indonesia memiliki harkat dan martabat sebagai bangsa penentang ‘kejahatan penjajahan’. Hingga sejarah pun menulisnya dengan ‘tinta emas’ yang terkenang sampai saat ini. Agresi Negara Koalisi di Libya Dengan berpegangan kepada mandat Dewan Keamanan melalui Resolusi 1973, seperti bentuk legitimasi negara-negara koalisi untuk melakukan aksi militernya di Libya. Sebuah resolusi yang tujuan awalnya untuk menyelamatkan masyarakat sipil dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh penguasa berubah menjadi agresi militer. Mengutip laporan dari beberapa media, serangan tersebut menghantam fasilitas non-militer di kota Tripoli, Tarhuna, Maamura dan Zhmeil. Akibatnya, 48 warga sipil dilaporkan tewas dan 150 lainnya terluka. Serangan itu juga telah merusak sebuah rumah sakit jantung, jalan, dan jembatan. Agresi militer tersebut semakin terlihat bagaikan penyerangan beberapa negara terhadap negara yang berdaulat. Dan tidak menutup kemungkinan kondisi ini akan berujung seperti yang terjadi di Irak dan Afghanistan. Serangan yang bermaksud untuk meredakan krisis malah justru menjadi pelanggaran terhadap Piagam PBB dan hukum-hukum hubungan internasional. Disinyalir memang semenjak awal negara-negara koalisi yang dikomandoi oleh Perancis, Inggris dan Amerika mempunyai kepentingan lain. Cadangan minyak adalah alasan utama yang menjadi agenda penyerangan tersebut. Di mana Libya merupakan penyuplai terbesar terhadap sejumlah korporasi energi raksasa semacam Exxon Mobil, Texaco, BP Amoco dan Shell. Sekadar informasi, Cadangan minyak Libya 44 miliar per barel tiap harinya. Sungguh fantastis mengingat penduduk Libya hanya sekitar 6 juta. Sedangkan Indonesia saja saat ini cuma 4 miliar per barel padahal penduduk Indonesia saat ini sekitar 230 juta. Ya pantaslah kalau koalisi sekutu sepertinya sangat bernafsu untuk menggempur Libya. Karenanya sungguh tidak mengagetkan juga ketika muncul pernyataan melegitimasikan adanya opsi militer kala Presiden Obama menyatakan bahwa AS memiliki kebijakan untuk menurunkan Khadafi atau 'Khadafi need to go'. Yang bertentangan dengan Resolusi 1973 dimana tidak memandatkan agar Moammar Khadafi untuk turun dari kekuasaan. Sebenarnya hal ini sudah dapat dijadikan pegangan untuk menjadikan serangan koalisi dari dapat dibenarkan (sah) menjadi illegal (unjust war). Posisi Indonesia Dimana? Setelah agresi meiliter yang dilakukan oleh negara-negara koalisi begitu banyak pengutukan yang disampaikan dari beberapa negara. Dan tentunya, ada juga pernyataan yang mendukung dari beberapa negara yang mempunyai kepentingan terhadap minyak di Libya dan sebagian besar negara-negara yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk. Bisa kita lihat kritikan pedasnya yang disampaikan oleh Beijing dengan menuduh negara-negara pendukung serangan melanggar peraturan internasional dan menghendaki kerusuhan baru di Timur Tengah. Kemudian dari Presiden Paraguay Fernando Lugo yang mengatakan: ”Saya menyesalkan bahwa PBB telah melegitimasi serangan-serangan itu.” Tak kalah galaknya apa yang disampikan oleh Presiden Venezuela Hugo Chavez: ”Imperium Yankee mengambil keputusan untuk menggulingkan Gaddafi dan meraup keuntungan atas pemberontakan yang terjadi di Libya, dan selanjutnya menyedot minyak negara itu." Kepala Institut Analisa Politik dan Militer Rusia, Kolonel Anatoly Tsyganok pun mengutuknya dengan menganggap serangan AS, Inggris dan Perancis ke Libya sama dengan invasi mereka ke Irak. Begitu pula apa yang disampaikan oleh Jurubicara Kementerian Luar Negeri Iran Ramin Mehmanparast dengan mengatakan sebagai kekuatan arogan menduduki negara-negara lain demi kepentingannya dengan dalih mendukung rakyat di negara itu. Lalu bagaimana dengan sikap Indonesia? Negara yang begitu keras bersikap pada saat pencetusan Konferensi Asia Afrika waktu itu terhadap penentangan kolonialisme dan imperialisme. Negara yang ‘terpandang’ terutama di mata negara-negara Afrika ketika itu. Pada peristiwa ini Indonesia tidak memiliki sikap yang tegas. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa memberikan pandangannya dalam menyikapi agresi militer tersebut dengan ucapan: "Kita sejak awal memandang perlu masyarakat internasional mengambil langkah untuk menyelamatkan warga sipil yang tidak berdosa. Namun, dalam pelaksanannya dilakukan secara terukur dan tidak menimbulkan masalah baru." Sangat normatif dan terkesan berhati-hati. Tidak tampak ucapan yang mewakili sebagai negara penentang keras imperialisme. Seharusnya Pemerintah Indonesia mampu menyuarakan agar serangan negara koalisi segera dihentikan. Jangan sampai pemerintah dianggap tidak sensitif terhadap agresi Barat terhadap negara-negara Afrika atau Timur Tengah. Solidaritas publik Indonesia harus dijadikan acuan pemerintah RI dalam menyikapi situasi di Libya. Terlebih Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar, negara berkembang, dan saat ini Ketua Asean sebuah organisasi yang memiliki prinsip larangan campur tangan urusan domestik negara lain, harus bersuara untuk mengingatkan negara-negara koalisi agar tunduk pada mandat Dewan Keamanan PBB dalam resolusi 1973. Hal ini memang bukan merupakan kali pertama yang ditunjukan Indonesia dalam menyikapi tindakan-tindakan neo-imperialisme negara Barat terhadap negara-negara berkembang. Sikap ini juga ditunjukkan pada saat penyerangan yang dilakukan di Irak dan Afghanistan. Bahkan terhadap kondisi yang berkaitan langsung dengan kedaulatan Indonesia sendiri. Hanya sekedar pernyataan yang normatif. Sebuah PR besar Pemerintahan Indonesia atas kinerja Diplomasi yang dijalankan… Catatan: Artikel ini pernah dimuat di www.theglobal-review.com