Jumat, 02 Maret 2012

Kalimat Sakti Yang Bernama ’Subsidi’



Untuk mengurangi kaget rakyat miskin, akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pemerintah memberikan BLT. Sungguh, pemerintah mempolitisasi rakyat miskin demi pencitraan, rakyat miskin disuap BLT. Kenaikan harga minyak dunia yang menyentuh 120 dolar AS perbarel akibat ketegangan AS-Iran juga jadi alasan harga BBM bersubsidi naik.

Padahal keuntungan yang dikantongi pemerintah setelah premium naik bisa mencapai angka fantastis Rp 43,7 triliun (harga premium Rp 6 ribu perliter). Lalu, setelah harga premium naik pemerintah pun bersiasat memberikan Bantuan Sementara Langsung Masyarakat (istilah lain dari BLT) tiap orang Rp 150 ribu selama sembilan bulan.

Menko Kesra Agung Laksono menyebut, 74 juta jiwa rakyat miskin akan menerima kompensasi BSLM. Jumlah penerimanya, 18,5 juta RTS (Rumah Tangga Sasaran) dikali empat, jadi 74 juta jiwa. Meski menurut data sekarang, 30 juta adalah penduduk yang hampir miskin, lalu 30 juta penduduk yang miskin dan very very poor (super miskin). Total 60 juta. Jadi, ditambah 14 juta yang tidak terdaftar selama ini termasuk nelayan dan buruh.

Bagi sangat sedikit orang di Indonesia, kenaikan premium tidak masalah. Tapi tidak dengan sebagian terbesar rakyat, menyusul imbas kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok hidup yang membelenggu. Sudah pasti rakyat miskin tidak bisa berkata-kata apalagi protes karena dengan leher yang sudah tercekik, tergorokannya pun mengering.

Keputusan kenaikan BBM bersubsidi dan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) adalah kepentingan politik dan harus dibicarakan pemerintah dengan DPR. Tapi sungguh disayangkan, banyak partai di negeri ini yang setuju untuk menaikan.

Hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang secara tegas menolaknya. Persoalannya, jutaan penduduk miskin akan tenggelam dan mati. Kalau rakyat miskin mati akan berkurang angka kemiskinan di Indonesia dan bertambahlah kemakmuran. Itu merupakan cara membuat rakyat miskin semakin dalam kondisi ’sekarat’, bahkan bisa jadi dikategorikan genocida dengan cara halus dan perlahan-lahan.

Kenaikan harga BBM menjadi pilihan pemerintah untuk menekan subsidi, adalah hal yang aneh. Karena sebenarnya, kewajiban pemerintahlah untuk memenuhi kebutuhan BBM untuk rakyat, seperti seorang ayah yang berkewajiban memberi nafkah kepada anaknya. Selama ini, pemerintah mengsalahartikan kewajiban itu dengan kalimat sakti yang bernama ’subsidi’.

Setiap elemen masyarakat, harus buka mata terhadap subsidi sebagai ’ilmu yang salah kaprah’. Sudah menjadi keharusan bagi kita yang merasa sebagai bagian dari bangsa ini untuk segera melakukan analisis dan mengkaji, apakah pantas pemerintah menggunakan istilah ’subsidi’. Sebab sejak awal berkibarnya ’merah putih’ mensejahterakan rakyat sudah merupakan kontrak sosial dan menjadi harga mati.

Tak kalah penting perlu diperhitungkan secara matang oleh pemerintah, bila harga premium naik maka konsumen akan beralih ke bahan bakar sekelas pertamax di SPBU milik asing, seperti Shell, Total, dan Petronas. Akibatnya malah membuat masalah semakin semrawut, Pertamina tak lagi berkibar kecuali mati suri atau gulung tikar...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar yang anda sampaikan.