Jumat, 11 Januari 2013

Menelaah Organisasi Internasional dan Manfaatnya bagi Kepentingan Nasional

Penulis : Rusman dan Ferdiansyah Ali, Peneliti Global Future Institute (GFI) Didalam setiap pogram pemerintah terkait kerjasama dengan organisasi internasional, sejatinya Indonesia wajib mengedepankan kepentingan nasional sebagai landasan kebijakan luar negeri. Alasan ini menjadi point yang mendasar untuk diperhatikan. Mengingat, kepentingan nasional menjadi alasan utama, agar Indonesia tetap menjadi negara berdaulat di masa mendatang. Ulasan ini terinspirasi dengan keikutsertaan Global Future Institute (GFI) pada acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (BPPK Kemlu RI), yang berlangsung di Jakarta, Senin, 22 Januari 2012 lalu serta dibeberapa kesempatan FGD sebelumnya. Setidaknya, Focus Group Discussion ini, yang mengusung tema “Organisasi Internasional sebagai Instrumen Tata Kelola Global: Kepentingan Nasional dan Manfaat Ekonomi untuk Mendukung MP3EI” menarik untuk dikritisi. Mengingat, masih sedikit dari masyarakat yang belum mengetahui berapa banyak keikutsertaan Indonesia di organisasi internasional yang ada. Dan seberapa besar manfaatnya bagi Indonesia ikut serta dalam organisasi internasional ini. Berdasarkan data Sekretaris Direktorat Jenderal Multilateral Kemlu RI, hingga saat ini ada sekitar 192 organisasi internasional yang diikuti Indonesia. Dan tidak sedikit cost yang dikeluarkan, terkait dengan kontribusi (iuran) dalam mengikuti organisasi internasional ini. Perlu diketahui, pada tahun 2012, Indonesia telah mengeluarkan dana iuran sebesar Rp. 263 milyar lebih. Dan ditahun 2013, diprediksi akan membengkak menjadi 292 milyar lebih atau tepatnya 292. 172.054.133, 48 rupiah. Sebuah angka yang cukup besar bukan? Belum lagi cost yang harus dikeluarkan ketika Indonesia mengikuti perhelatan, disalah satu organisasi internasional yang diikuti. Dan biasanya, delegasi yang ikut serta, baik dari segi jumlah dan kualitas, kadang tidak dipersiapkan dengan “serius”. Sehingga kerapkali para delegasi yang ikut serta dan sekembalinya ke tanah air tidak membawa “hasil” bagi Indonesia. Jadi jelas, tidak ada alasan bagi pemerintah harus mempertimbangkan untung dan ruginya ikut serta dibeberapa organisasi internasional. Setidaknya Keppres No. 64/1999 tentang Keanggotaan Indonesia dan Kontribusi Pemerintah RI pada Organisasi-Organisasi Internasional mengamanat ini. Keputusan Presiden tersebut mengamatkan bahwa keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional harus memberi manfaat yang maksimal bagi kepentingan nasional, didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku dan memperhatikan efesiensi penggunaan anggaran dan kemampuan keuangan negara. Sebagai informasi rencananya keppres ini akan direvisi. Bila ini benar terjadi, tentunya perlu dicermati lebih lanjut. Terkait perlunya mempertimbangkan kembali keikutsertaan Indonesia dalam organisasi internasional yang ada, pembicara dari Lembaga Administrasi Negara (LAN) memberikan usulan yang cukup “cerdas”. Dalam rekomendasinya, LAN mengungkapkan dua point utama. Pertama, keanggotaan Indonesia dalam organisasi internasional dapat ditinjau kembali oleh Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Sekretariat Negara berserta instansi terkait. Kedua, Perlu dilakukan peninjauan kembali keanggotaan Indonesia dalam kegiatan organisasi-organisasi internasional. Sisi lain yang menarik untuk dikritisi adalah, bahwa Indonesia tidak memiliki kebijakan luar negeri yang jelas. Padahal antara kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri, ibarat sebuah ikatan yang saling terkait, dan mutlak diperlukan dalam sebuah diplomasi internasional. Kebijakan luar negeri Indonesia harus merujuk kepada kepentingan nasional. Tidak bisa tidak. Selayaknya apa yang disampaikan tim GFI pada forum diskusi ini menjadi penting untuk diperhatikan. Coba bandingkan dengan Amerika Serikat. Negeri paman sam ini jelas memiliki kebijakan luar negeri yang boleh terbilang "permanen". Dimanapun dan sampai kapanpun Amerika Serikat karena ketergantungannya terhadap minyak maka kebijakan luar negerinya senantiasa kepada MINYAK. Siapapun presidennya, Amerika pasti akan selalu mengedepankan minyak sebagai target utama dalam kepentingan nasionalnya. Idiom yang sukar untuk dipungkiri. Sementara, apa kepentingan nasional Indonesia sendiri? Walau tidak terbahas tuntas, setidaknya para pembicara mengamini apa yang disampaikan tim GFI. Namun sayangnya, tidak begitu terbahas dengan tuntas dalam forum diskusi terbatas ini. Sejatinya, bahasan terkait kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional Indonesia layak untuk dibahas secara mendalam disetiap forum yang lebih serius. Sehingga, apa yang dikeluh kesahkan oleh salah satu pembicara terkait diplomat-diplomat yang hanya debat kusir di setiap forum internasional tidak terjadi lagi. Seakan-akan Indonesia selalu berada di simpangan jalan, padahal sudah sepantasnya keiikutsertaan Indonesia didalam sebuah organisasi internasional harus dijadikan sarana negosiasi hingga menciptakan bargaining position Indonesia di dunia internasional. Sebagai sebuah rujukan dan renungan bersama, dimana Indonesia sebagai anggota Asian Pacific Economic Cooperation (APEC) ternyata tidak mampu memainkan perannya secara optimal ketika Kelapa Sawit dipandang sebagai produk yang tidak ramah lingkungan. Padahal Indonesia merupakan penghasil CPO terbesar di dunia. Dengan keberadaan Indonesia sebagai anggota forum Kerjasama ekonomi Negara Asia Pasifik, justeru menjadikan ‘alat legitimasi’ bahwa Indonesia menyetujui kesepakatan APEC yang memutuskan kalau kelapa sawit merupakan benar produk yang tidak ramah lingkungan. Padahal dengan kondisi seperti ini akan mempengaruhi kinerja ekspor CPO Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Program MP3E1 Ibarat “Kue” yang Banyak Diperebutkan Terkait dengan tema Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)- yang notabene jadi program andalan pemerintahan SBY saat ini juga menjadi perhatian khusus. Namun, bahasan terkait "Mega Proyek" ini sedikit luput dari bahasan utama di forum ini. Berdasarkan hasil riset GFI, berbagai proyek investasi infrastruktur yang ditawarkan dalam MP3EI periode 2011-2025 ibarat “kue” yang banyak diperebutkan oleh negara-negara lain. Sebut saja, Jepang, Cina, Amerika, Rusia dan lainnya. Misalnya, dalam pertemuan keempat Indonesia – Japan Joint Economic Forum (IJJEF) yang diselenggarakan di Tokyo, 8-9 Oktober 2012 lalu. Di forum ini, Jepang kembali menyampaikan komitmen dan dukungannya dalam upaya pengembangan ekonomi Indonesia terutama untuk pengembangan infrastruktur dan konektivitas. Lain lagi dengan investor dari RRT. Dalam Forum Promosi Trade, Tourism and Investment (TTI) yang diselenggarakan di Kota Chengdu (24/7/2012), para investor RRT menyatakan minatnya pada proyek-proyek seperti pengembangan jalan tol, rel kereta api, jembatan dan pembangkit tenaga listrik. Ini baru sebagian kecil dari minat negara-negara lain terhadap program MP3EI. Pasalnya, bicara MP3EI berarti bicara infrastruktur, manufaktur, pertambangan dan energi, pariwisata, perikanan, agribisnis dan kawasan ekonomi khusus. Dan perlu diketahui, bahwa total nilai proyek yang ada dalam program MP3EI hingga tahun 2025 sekitar US$ 600 milyar. Sebuah proyek yang luar biasa besar bukan? Tentu ini harus menjadi perhatian stakeholders kebijakan luar negeri lintas kementerian yang ada, baik kementerian luar negeri, kementerian ekonomi, kementerian perdagangan, kementerian industri, kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif, maupun kementerian kelautan. Pertanyaannya, sudahkah terjalin komunikasi yang baik antar kementerian tersebut? Sebuah pertanyaan yang harus menjadi bahan evaluasi di setiap jajaran kementerian. Indikasi lainnya adalah bahwa perwakilan RI tidak hanya sekedar mampu melakukan economic intelligence untuk menggali potensi peluang pasar dan melakukan promosi secara lebih efektif guna memfasilitasi pelaku usaha, tetapi juga harus mampu membaca apa yang tersirat dan tersurat dari minat para investor di luar negeri. Selayaknya Indonesia mengikuti apa yang dilakukan Republik Islam Iran. Pada penyelenggaraan KTT Gerakan Non Blok (GNB) di Iran beberapa waktu lalu, Iran memainkan perannya secara optimal sebagai anggota GNB. Di tengah isolasi yang diberlakukan dunia barat, Iran mampu menghadirkan 120 kepala negara anggota GNB pada perhelatan akbar tersebut. Dengan kehadiran para kepala negara tersebut, secara otomatis Iran mampu menggugurkan ajakan negara-negara barat untuk mengisolasinya. Iran membuktikan bahwa Iran bukanlah negara yang terisolir. Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Berbicara tentang peran Indonesia, artikel Dina Y Sulaeman, berjudul “Menggugat Feodalisme PBB” (baca selengkapnya di jurnal edisi ini) terkait pernyataan Presiden Islam Iran Ahamdinejad, kiranya menarik untuk disimak dan jadi inspirasi bagi pemerintah Indonesia. Dalam paparanya, Dina menyebutkan bahwa jalan keluar yang disampaikan secara terang-terangan oleh Ahmadinejad mengatakan bahwa selama delapan tahun terakhir ini adalah yang paling logis, yaitu penghapusan hak veto secara penuh bagi negara-negara adidkuasa seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia dan Cina. Dalam pidatonya, Ahmadinejad memperingatkan bahwa selama hak veto masih ada justru kelangsungan hidup PBB sendiri yang akan terancam. Ketika PBB semakin melemah, masyarakat dunia akan mengambil aksi sendiri di luar struktur PBB. Hal ini mengisyaratkan, PBB sebagai sebuah institusi dunia bisa jadi akan tergoyahkan oleh kepentingan negara-negara barat, yang memaksakan kehendaknya sendiri. Lantas, apa gunanya organiasasi internasional seperti PBB ini hanya akan menjadi organisasi tempat kongkow-kongkow para diplomat. Terkait gagasan tersebut, sudah seharusnya pemerintah Indonesia terdorong untuk melakukan peran aktif yang sejalan dengan sikap Pemerintah Iran dalam kerangka mengupayakan Reformasi PBB. Peran aktif Indonesia seperti ini kiraya jauh lebih substansif dan strategis daripada sekadar faktor pelengkap dan alat justifikasi bagi keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh forum-forum multi-lateral seperti APEC. Lebih daripada itu, bukankah ditiadakannya hak veto bagi negara-negara adikuasa pada perkembangannya akan menguntungkan Indonesia dalam memperjuangkan aspirasinya d forum internasional bersama-sama dengan negara-negara berkembang lainnya? Sudah saatnya Indonesia harus kembali kepada semangat dan komitmen Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada April 1955 dan Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok di Beograd pada 1961. Sekadar mengingatkan, Indonesia pada kedua forum internasional tersebut, tidak saja berperan aktif, melainkan juga menjadi salah satu negara pemrakarsa. Begitupun, forum diskusi semacam ini lagi-lagi terpaksa harus terbatasi oleh waktu yang relatif singkat. Sehingga tidak sedikit tanggapan dari peserta diskusi yang bisa terjawab dengan memuaskan. Setidaknya, Yulius Purwadi Hermawan, Ph.D., wakil dekan I Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Bandung usai diskusi menyampaikan pendapatnya. "Lembaga think thank seperti GFI sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang pemerintah dalam menentukan kebijakan luar negeri. Apa yang anda sampaikan ada benarnya. Dan memang tidak terlalu direspon. Mungkin karena kesibukan mereka," ujar Yulius kepada Tim GFI. Berikut lampiran keanggotaan Indonesia dalam organisasi internasional bidang ekonomi: - Codex Alimentarius Commisision (CAC) - Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) -- Indonesia mundur dalam Konferensi OPEC ke-149, yang berlangsung tanggal 9-10 September 2008, di Wina, Austria. - Organization of Petroleum Exporting Countries Fund (OPEC FUND) - International Nickel Studi Group (INSG) - United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) - World Trade Organization (WTO) - Asia Pasific Fishery Commision (APFIC) - Southeast Asia Fisheries Deveploment Centre ( SEAFDEC) - Food and Agricultural Organization (FAO) - International Fund for Agricultural Development (IFAD) - World Food Pragramme (WFP) - Asian and Pasific Coconut Community (APCC) - Animal Production of Health Commission for Asia (APHCA) - International Rubber Study Ground (IRSG) - Center for International Forestry Research (CIFOR) - Internasional Coffee Organization (ICO) - Internasional Pepper Community (IPC) - Internasional Tropical Timber Organization (ITTO) - Asian Development Bank (ADB) - Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) - International Finance Corporation (IFC) - International Monetary Fund (IMF) - Islamic Development Bank (IDB) - Word Bank Sumber: www.theglobal-review.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar yang anda sampaikan.